Pesantren dan Etika Peradaban
Oleh : Moh Shiddiq
Semua kalangan yang masih mengatas
namakan muslim_bahkan santri, mustahil lupa sebuah hadist yang berbunyi innama
buisytu liutammima makaarimal akhlaq yang menyatakan bahwa kemunculan Nabi
Muhammad di padang Arabia disebabkan keringnya nilai-nilai hidup yang bermuara
pada etika. Mengaitkan secara linear dengan sejarah peradaban arab tampaknya
memang berkait-kelindan satu sama lain. Realita yang hadir semenjak itu sarat
akan budaya Jahiliah yang bertentangan dengan spirit luhur keislaman yang
hakiki.
Tak ayal, jika kemudian Nabi
Muhammad menyebut bahwa peradaban Arab Jahiliah satu-satunya peradaban paling
bodoh. sementara kehadiran beliau ditengah kegersangan spiritual dianggap
sebagai trangkisnya dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (minadz
dzulumaati ilan nuuri) yang berpangkalkan akan cahaya Islam. Pada bagian
lain sejak turunnya ayat al yauma akmaltu lakum wa atmamtu alaikum ni’matii
waradiitu lakumul islama diina maka sejak saat inilah ada indikasi semakin
terkikisnya aktualisasi nilai keislaman.
Wajar, menginjak pada tataran
kemajuan Eropa yang mengusung nama Renaisains Muslim seakan latah oleh
suguhan menggiurkan dalam berbagai sisi. Termasuk diantaranya mode, pakaian,
teknologi dan segala tetek bengek lainnya yang terkait dengan term modern.
Namun lebih menarik lagi bila pembahasan dispesifikasikan pada muatan historis
akan supremasi Barat dalam berbagai dimensi itu.
Sejak abad 11 Eropa dalam keadaan
terkatung-katung. Masa ini, Islam menikmati puncak keemasannya dari masa
Dinasti Abbasiyah hingga periode Salahuddin Al Ayyubi. Namun, keadaan berbalik
arah tatkala terjadi peperangan sengit pada perang Salib yang melibatkan Islam
dan Kristen. Suasana genting itu, membawa petaka bagi Islam dengan terbakarnya
khazanah keislaman yang terpajang di perpustakaan Mesir, Iraq (Baghdad) dan
Spanyol (Andalusia, Cordoba).praktisnya, terjadi peralihan bahasa dari Arab ke
bahasa Latin. Namun begitu, hingga detik ini Eropa masih mengelak dari
“plagiasi ilmiayah” ini.
Dalam tataran ideologis pun, yang
berkenaan dengan filsafat yunani Islam juga turut andil dalam menerjemahkan
kedalam bahasa latin. Dimana, Ibnu Rusyd dalam sebuah hikayah berguru langsung
kepada Aristoteles yang oleh orang Barat tidak diakui secara formal. Bahkan,
penemuan kekuatan atom,gravitasi dan segala penemuan ilmiayah terlebih dahulu
ditemukan Islam diabad yang lampau. Bedanya, ilmuwan muslim menggenjot kemajuan
dibalik kekuatan teks, sedangkan penemuan Albert Einstein dan Sir Isaac Newtoon
condong pada kekuatan konteks.
Sejarah Renaisains
Kecenderungan eropa selama ini menekankan pada
kebebasan berekspresi dalam berbagai hal.hingga, pada gilirannya, meledak teori
humanis-antroposentris yang mengagungkan manusia diatas entitas lain, tak
terkecuali dengan Tuhan. Tak heran bila dalam kebangkitan Eropa menginjak-injak
kuasa Bible dan gereja yang dianggap sakral. Pada perkembangan selanjutnya,
berkat kemajuan berpikir meletuslah spirit kapitalis-individualis yang
bertentangan dengan ajaran luhur keberagamaan yang lurus.
Alhasil,
kemajuan yang sebenarnya di promosikan sebagai kebebasan yang bersendikan
terhadap superioritas akal yang terbatas. Banyak perilaku yang menjauh dari
pranata etis yang baik yang bersumber dari keterbatasan itu sendiri. Dewasa
ini, Eropa menggemakan sebuah kebahagiaan dengan pencapaian yang menurutnya
baik.
Tidak
dapat mengelak, bila hidup disatukan dalam satu kampung global (Global
Village) transformasi budaya luar meremuk-redamkan nilai local di Negara
ketiga. Disatu sisi dengan gencarnya pertukaran budaya semakin menguatkan
supremasi Barat sebagai kolonialis-imperialis yang selama berabad-abad lamanya
melakukan invasi ke negara muslim. Sebab itulah demi melanggengkan kejayaan
Islam, Mohammad Abduh dan Mohammad Iqbal, seorang pembaharu, mengajak ummat
Islam memangku tradisi keislamannya yang semakin tertanggalkan secara perlahan.
Membangkitkan Pesantren
Sebagai
lembaga Islam yang tetap survive di Indonesia pesantren memiliki peran
strategis dalam menggawangi moralitas bangsa dari keterpurukan. Secara
diplomatis, pesantren tidak dituntut untuk mengajarkan fundamentalisme
keberagamaan sebab ketertekanan Islam dewasa ini. Tapi, kebutuhan jangka panjang
bermuara pada mashlahatul ummah. Tidak pula pesantren dituntut mencetak
kader yang gila konteks hingga kelihatan memperkosa teks.
Dalam
pada itu, pesantren harus mampu melahirkan kader yang menyeimbangkan nalar
teologis dan nalar saintifik yang cenderung berbenturan. Kendatipun pada
prinsipnya sulit terwujud. Namun demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil
diwujudkan jika ada kekompokan antar stake holder pesantren. Lebih dari
itu, pesantren mesti memiliki Plannig sistematis dalam rangka
menyongsong perubahan. Semoga kaidah al muhafadhatu ala qadiimish shaleh wal
akhdu bil jadiidil ashlah teraplikasikan secara riil.(**)
Siswa MA 1 Annuqayah, berdomisili di PPA
Lubangsa Selatan B/8
0 komentar:
Posting Komentar