Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 13 Oktober 2012


Pesantren dan Etika Peradaban
Oleh : Moh Shiddiq
Semua kalangan yang masih mengatas namakan muslim_bahkan santri, mustahil lupa sebuah hadist yang berbunyi innama buisytu liutammima makaarimal akhlaq yang menyatakan bahwa kemunculan Nabi Muhammad di padang Arabia disebabkan keringnya nilai-nilai hidup yang bermuara pada etika. Mengaitkan secara linear dengan sejarah peradaban arab tampaknya memang berkait-kelindan satu sama lain. Realita yang hadir semenjak itu sarat akan budaya Jahiliah yang bertentangan dengan spirit luhur keislaman yang hakiki.
Tak ayal, jika kemudian Nabi Muhammad menyebut bahwa peradaban Arab Jahiliah satu-satunya peradaban paling bodoh. sementara kehadiran beliau ditengah kegersangan spiritual dianggap sebagai trangkisnya dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (minadz dzulumaati ilan nuuri) yang berpangkalkan akan cahaya Islam. Pada bagian lain sejak turunnya ayat al yauma akmaltu lakum wa atmamtu alaikum ni’matii waradiitu lakumul islama diina maka sejak saat inilah ada indikasi semakin terkikisnya aktualisasi nilai keislaman.
Wajar, menginjak pada tataran kemajuan Eropa yang mengusung nama Renaisains Muslim seakan latah oleh suguhan menggiurkan dalam berbagai sisi. Termasuk diantaranya mode, pakaian, teknologi dan segala tetek bengek lainnya yang terkait dengan term modern. Namun lebih menarik lagi bila pembahasan dispesifikasikan pada muatan historis akan supremasi Barat dalam berbagai dimensi itu.
Sejak abad 11 Eropa dalam keadaan terkatung-katung. Masa ini, Islam menikmati puncak keemasannya dari masa Dinasti Abbasiyah hingga periode Salahuddin Al Ayyubi. Namun, keadaan berbalik arah tatkala terjadi peperangan sengit pada perang Salib yang melibatkan Islam dan Kristen. Suasana genting itu, membawa petaka bagi Islam dengan terbakarnya khazanah keislaman yang terpajang di perpustakaan Mesir, Iraq (Baghdad) dan Spanyol (Andalusia, Cordoba).praktisnya, terjadi peralihan bahasa dari Arab ke bahasa Latin. Namun begitu, hingga detik ini Eropa masih mengelak dari “plagiasi ilmiayah”  ini.
Dalam tataran ideologis pun, yang berkenaan dengan filsafat yunani Islam juga turut andil dalam menerjemahkan kedalam bahasa latin. Dimana, Ibnu Rusyd dalam sebuah hikayah berguru langsung kepada Aristoteles yang oleh orang Barat tidak diakui secara formal. Bahkan, penemuan kekuatan atom,gravitasi dan segala penemuan ilmiayah terlebih dahulu ditemukan Islam diabad yang lampau. Bedanya, ilmuwan muslim menggenjot kemajuan dibalik kekuatan teks, sedangkan penemuan Albert Einstein dan Sir Isaac Newtoon condong pada kekuatan konteks.
Sejarah Renaisains
Kecenderungan eropa selama ini menekankan pada kebebasan berekspresi dalam berbagai hal.hingga, pada gilirannya, meledak teori humanis-antroposentris yang mengagungkan manusia diatas entitas lain, tak terkecuali dengan Tuhan. Tak heran bila dalam kebangkitan Eropa menginjak-injak kuasa Bible dan gereja yang dianggap sakral. Pada perkembangan selanjutnya, berkat kemajuan berpikir meletuslah spirit kapitalis-individualis yang bertentangan dengan ajaran luhur keberagamaan yang lurus.
            Alhasil, kemajuan yang sebenarnya di promosikan sebagai kebebasan yang bersendikan terhadap superioritas akal yang terbatas. Banyak perilaku yang menjauh dari pranata etis yang baik yang bersumber dari keterbatasan itu sendiri. Dewasa ini, Eropa menggemakan sebuah kebahagiaan dengan pencapaian yang menurutnya baik.
            Tidak dapat mengelak, bila hidup disatukan dalam satu kampung global (­Global Village) transformasi budaya luar meremuk-redamkan nilai local di Negara ketiga. Disatu sisi dengan gencarnya pertukaran budaya semakin menguatkan supremasi Barat sebagai kolonialis-imperialis yang selama berabad-abad lamanya melakukan invasi ke negara muslim. Sebab itulah demi melanggengkan kejayaan Islam, Mohammad Abduh dan Mohammad Iqbal, seorang pembaharu, mengajak ummat Islam memangku tradisi keislamannya yang semakin tertanggalkan secara perlahan.
Membangkitkan Pesantren
            Sebagai lembaga Islam yang tetap survive di Indonesia pesantren memiliki peran strategis dalam menggawangi moralitas bangsa dari keterpurukan. Secara diplomatis, pesantren tidak dituntut untuk mengajarkan fundamentalisme keberagamaan sebab ketertekanan Islam dewasa ini. Tapi, kebutuhan jangka panjang bermuara pada mashlahatul ummah. Tidak pula pesantren dituntut mencetak kader yang gila konteks hingga kelihatan memperkosa teks.
            Dalam pada itu, pesantren harus mampu melahirkan kader yang menyeimbangkan nalar teologis dan nalar saintifik yang cenderung berbenturan. Kendatipun pada prinsipnya sulit terwujud. Namun demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil diwujudkan jika ada kekompokan antar stake holder pesantren. Lebih dari itu, pesantren mesti memiliki Plannig sistematis dalam rangka menyongsong perubahan. Semoga kaidah al muhafadhatu ala qadiimish shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah teraplikasikan secara riil.(**) 

Siswa MA 1 Annuqayah, berdomisili di PPA Lubangsa Selatan B/8        

    

0 komentar:

Posting Komentar