Pages

Ads 468x60px

Rabu, 06 Maret 2013

spirit keaswajaan


MENGUKUHKAN SPIRIT KEASWAJAAN DI PESANTREN ; REFLEKSI ATAS KHITAH YANG MEMUDAR
(Upaya Mengambil Jalan Bijaksana)
Oleh : Moh Shiddiq*)[1]
Pendahuluan
Pesantren merupakan objek kajian paling menarik terkait dengan keberadaannya yang tetap survive hingga saat ini. Sebab, kenyataan yang ada pesantren menua dan berumur ringkih. Itulah sebabnya, pesantren tetap menjadi perhatian dominan dibanding dengan kajian lainnya. Langkah awal yang lazim diketahui bahwa pesantren adalah lembaga tertua yang menjadi cikal-bakal lahirnya sistem pendidikan variatif lainnya di Indonesia. Kendatipun pada prinsipnya tidak mampu banyak referensi mengungkap terkait awal kemunculan pesantren. Tetapi nyaris dipastikan bahwa Pondok pesantren lahir seiring penyebaran yang dilakukan oleh Wali Songo. Khususnya di pulau Jawa. Karena itu tidak heran tatkala kemudian disebutkan bahwa perintis utama Pesantren adalah Syeikh Maulana Maghribi (W 822 H/ 1439 M ) yang merupakan orang pertama kali menyebarkan Agama Islam sebelum kedatangan Wali yang Sembilan.[2]
Fase awal, pesantren dibentuk sebagai lembaga non-formal dengan memusatkan pembelajaran dan aktivitasnya di Surau, Masjid atau Asrama Santri. Pada umumnya materi yang dikaji berkisar pada Ilmu Keagaamaan. Seperti Tauhid, Aqidah, dan Tasawuf . Sedangkan kitab yang dijadikan pegangan merupakan kitab-kitab yang dikarang  pada abad pertengahan oleh para Salafuna as Shalih.lantaran struktur kurikulumnya terlihat mengacu pada tataran praktis yang kuno. Maka, pesantren diklaim sebagai lembaga konservatif.[3]
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa pesantren merupakan sub-kultur masyarakat yang berada “diluar” masyarakat. Bahasa lain dari pada hal tersebut bahwa pesantren sebenarnya senantiasa berbeda dengan luar masyarakat yang sering kali tidak ”mengindahkan” ketertiban ala pesantren. Praktisnya, kemudian mengukuhkan suatu ungkapan bahwa tidak sekadar mementingkan transfer pengetahuan.(Transfer of Knowledge) Melainkan, tidak kalah penting melaksanakan transformasi tata nilai ke dalam lubuk hati para santri.(Transfer of Value)
Era orde baru, dimana pembangunan digalakkan merupakan momok menakutkan bagi keberlangsungan pendidikan di pesantren. Bukan karena tidak sinkron antar keduanya. Segala sesuatu yang ada memang saling berkait-kelindan. Namun titik pijak yang harus diperhatikan ulang bahwa pesantren mesti selalu memangku tradisi ke”salafannya” yang  dalam kurun ini  perlahan memudar. Bahkan terancam punah. Walaupun Harus diakui secara seksama bahwa dalam teori kecenderungan, sesuatu yang terlihat baru seringkali men”gerlingkan” perhatian. Hingga harus senantiasa waspada menjalaninya.[4]
Menguak Sejarah Aswaja (Ahl Sunnah Wal Jama’ah)
            Perbincangan mengenai Ahl Sunnah Wal Jamaah bisa dipastikan terlalu tabu. Namun meskipun demikian, masih menarik untuk dibicarakan ulang. Hal ini lebih dikarenakan Ahl Sunnah Wal Jamaah menjadi sebuah moderasi pemikiran (Tawasshuth) ditengah kerancuan berpikir yang saling menjegal dan menyempitkan kebenaran hanya terbatas pada dirinya. Tentu ini berkenaaan dengan pemikiran keislaman yang oleh John L Esposito memiliki corak pemikiran yang kompleks dan kaya.
            Sejak masa Rasulullah SAW persoalan teologi menjadi perdebatan alot hingga pada gilirannya menjadi cikal-bakal lahirnya beragam firqah yang menandaskan kebenaran hanya untuk dirinya. Lebih dari itu premis yang harus ditegaskan bahwa pecahnya tubuh Islam yang pada tahap perkembangannya bercerai-berai dengan kepentingan masing-masing bukan sebab tendensi politik. Supaya mengetahui lebih dalam kita mesti mengembalikan kepada sejarah yang pertama.                                              
            Saat Nabi (Muhammad) mulai menyiarkan seperangkat ajaran-ajaran Islam yang telah beliau terima di Makkah, kota yang awal kali pertama  tempat diturunkannya wahyu ini berada di bawah sistem kepemimpinan masyarakat Quraisy yang notabene keluarga besar Nabi. Hal demikan terjadi sebab di abad ke dua dari abad enam masehi, jalur perdagangan Timur-Barat berpindah dari teluk Persia-Euphrat di utara dan laut merah perlembahan Neil di selatan, ke Yaman_Hijaz _Syiria. Peperangan berkepanjangan yang terjadi antara Kerajaan Persia dengan Kerajaan Byzantium di jalur utara menjadikan suasana tidak kondusif. Mesir yang berada dalam kekacauan sebab berdagang lewat utara kemudian tidak menguntungkan dalam meningkatkan taraf perekonomiannya.[5]
Berpindahnya jalur perdagangan Timur-Barat ke semenanjung Arabia di Makkah maka pada akhirnya kota dagang ini menjadi kota kaya. Hal inilah sebenarnya yang dimaksud dengan ayat rihlatas syitaai wa shaif dalam surah Quraisy. Dari arah perdagangan yang sangat maju berimplikasi terhadap terambil-alihnya kekuasaan pada tangan orang kaya dari suku Quraisy.[6]
Saat masyarakat Makkah dalam keadaan berleha-leha dengan harta yang berlimpah. Justru Nabi Muhammad dalam keadaan genting sebab kemiskinan yang diderita.sebab itulah setelah ditinggal oleh bapak ibunya menjadi seorang anak pengembala domba. Pada bagian lain ada sebuah masyarakat terpencil yakni di Madinah yang membutuhkan seorang pemimpin, persengketaan keduanya diwarnai oleh suku Aus dan Khazraj dalam  menentukan pemimpin.Tepat saat masyarakat Madinah menunaikan ibadah Haji di Makkah Nabi muhammad  dielu-elukan. Tak ayal bila beliau  hijrah dari Makkah ke Yastrib. Setelah sampai pada masyarakat Madinah beliau bukan hanya menjadi teolog melainkan politikus ulung hingga  Madinah menjadi masyarakat madani sesuai dengan ajaran luhur Islam. Tak berlebihan kiranya bila Marshall GS Hudgson menyatakan bahwa Madinah adalah negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7]
Singkat kata, bahwa pada dasarnya aras pertama kali muncul tak lain teologi yang disusul politik praktis. Pada perkembangan selanjutnya karena wafatnya Nabi terjadilah perpecahan untuk mengganti siapa calon yang pantas mengganti kedudukannya sebagai pemimpin Arab kala itu. Praktisnya, masa khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab adalah masa kepemerintahan cukup aman. Tapi berlanjut pada periode Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memasuki masa genting. Bahkan pada saat itulah meruncing sebuah perbedaan dengan munculnya Syiah, Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah, kaum Mu’tazilah dan akhirnya Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai penengah dalam kemelut berkepanjangan.
Dalam hal ini secara linguistik Ahlus Sunnah Wal Jamaah dapat ditelusuri bahwa kata Ahl, menurut Fairuzzabadi dapat diartikan pemeluk aliran atau pengikut madzhab (Ashab al Madzhab) jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab. Sedangkan Al Sunnah adalah  jalan  para sahabat Nabi dan Tabiin. Sementara al jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara prinsip yang mesti dibedakan bahwa term Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kata integral. Sebab terkadang ada sebuah lembaga yang mengatas-namakan Ahl Sunnah saja, yang biasanya berwatak fundamental dan terlalu saklek dalam memahami teks (Literal). Tak jarang pula ditemukan terlalu gila terhadap konteks hingga kelihatan memperkosa teks (Liberal).[8]
Dalam lensa keindonesiaan organisasi masyarakat yang berorientasi pada pengukuhan Ahl Sunnah Wal Jamaah adalah NU.[9] Namun tampaknya dilihat secara obyektif seakan-akan seperti yang disebut Said Agiel Siradj cenderung menjadikan paham sebagai piranti formalitas. Karena itulah kemudian Aswaja harus senantiasa dijadikan sebagai Manhaj Fikr. Bahkan lebih penting dari itu disulap menjadi Manhaj Harakah dalam rangka turut andil dalam memecahkan problematika sosial.
Harapan Terhadap Pesantren
Sejarah pesantren sebenarnya kurang begitu puas dibicarakan hingga Gus Dur mengkhawatirkan pesantren terbuang dari akar masyarakat desa. Memasuki abad yang berlari_ seperti yang dikatakan oleh Afrizal Malna, setidaknya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi kredibilitas pesantren bahkan masyarakat yang berada diluar pesantren . Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa pesantren adalah tempat istimewa tapi mempertimbangkan secara jernih merupakan harga mati untuk memahaminya. Gus Dur kerap-kali menggaungkan bahwa Indonesia memiliki kultur sendiri yang amat berbeda dengan Arab. Ringkasnya, setiap daerah tidak bisa bangun tanpa kultur yang terbawa sejak lama.[10] 
Kita bisa beralih pada terbangunnya peradaban Barat yang cenderung humanis-antroposentris. Secara eksplisit mengungkapkan tentang keberpihakannya terhadap kemanusiaan tapi menginjak-injak harkat martabat Agama, dimana diabad pertengahan yang silam tepatnya saat kemunculan Rene Descartes menjadi corong kemajuan peradaban barat (Renaisains). Namun demikian kenyatannya hak asasi kemanusiaan yang terprogramkan secara linear sebatas menjelma retorika usang yang layak disebut sebagai artefak kuno dengan tontonan menarik bukan tuntunan yang baik.
Begitu pula sebaliknya, peradaban Arab yang penuh dengan piranti keberagamaan nampaknya terlalu bersikap fanatis dalam menafsirkan teks hingga melahirkan suatu tindakan yang kurang berpihak pada asas kemanusiaan. Toh walaupun pada hakikatnya akan tampak lebih baik bila kebaikan terbungkus oleh “kulit” agama yang  sakral. Logika dari pada hal ini, bahwa tanpa adanya ajakan Agama sulit sekali untuk membentuk sebuah komunitas yang terkonsolidasi dalam rangka menyongsong pada kepentingan bersama. Bisa dipastikan cerai-berai akan segera terjadi jika berpangku pada keinginan dari masing-masing individu.
Pesantren ditengah usianya yang tua selalu berusaha mengetengahi persoalan secara baik dengan menempatkan nilai kesalafannya. Salaf bukan berarti kolot melainkan sebuah upaya untuk menunjukkan kemaslahatan bagi seluruh manusia. Saat ini benturan peradaban seakan benar terjadi (        Samuel Huntington). Memang, realitasnya Uni-Soviet yang mengusung misi komunis telah runtuh tapi tidak menutup kemungkinan bagi paham lain untuk bersikeras dalam menanggulangi benturan peradaban ini.[11]
Berkenaan dengan pesantren di Indonesia muncul sebelum penjajahan Negara Kolonial. Berkat keberadaan pesantren yang cukup banyak ternyata dapat menyokong bagi lepasnya bangsa dari jeratan kapitalis-imperialis. Momentum demikian membuat masyarakat terperangah-kagum. Al-hasil, pesantren menjadi tempat favorit untuk dijadikan sebagai tempat belajar.[12] Wajar jika kemudian ada sebuah indikasi bahwa pesantren turut andil dalam pembentukan seperangkat dasar-dasar Pancasila. Tapi bagaimanapun juga alasannya pesantren tetap harus berbeda dengan “luar masyarakat”. Semoga kaidah Al-muhafadhatu ala qadimis shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah tetap dijadikan sebagai pegangan.(*)







[1] Penulis adalah siswa MA 1 Annuqayah Kelas XI IPS 1
[2] Lihat Dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hal.70.
[3] Dr. Abu Yazid, MA, LL.M, “Membangun Islam Tengah, Refleksi Dua Dekade Ma’had Ali Situbondo”, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2002)hal.26.
[4] Telusuri ulang , dalam pengantar editor “Menggerakkan Tradisi Esai Esai Pesantren”. Baca Abdurrahman Wahid, “Menggerakkan Tradisi,Esai-Esai Pesantren ” (Yogyakarta : LKiS, 2010)hal.Xii.
[5] Cek kembali dalam buku, Harun Nasution, “Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan
[6] Keterangan lebih lanjut mengenai jalan dagang Timur-Barat ini dan pengaruhnya terhadap Makkah, dapat di baca dalam Philip K. Hitti, “History of The Arabs”, london, Mac Millan & Co. Ltd. 1964, bab IV-VII, Bernard Lewis, “The Arabs In History,” New York, Harper & Row, 1960, bab I,passim and M. Watt, “Mahomet a La Mecque ” terjemahan F. Douryeil, Paris, Payot, 1985 hal.21-42.
[7]Telisik ulang, Marshall GS Hudgson, “ The Venture of Islam”, (Jakarta : Paramadina,2002)hal.99.
[8] Secara umum berpaham sesuai dengan golongan Abu Hasan Al Asyari, syariat bermazab kepada Madhazib Al Arba’ sementara tasawuf kepada Imam Al Ghazali, baca Dr. H. Said Agiel Siradj, “Ahl Sunnah Wal Jamaah dalam Lintasan Sejarah”, (LKPSM : Yogyakarta, 1997)hal.7.
[9] Perintis awal NU adalah KH. Hasjim Asy’ari kemudian saat berada pada pimpinan cucunya, KH.Abdurrahman Wachid terbelah menjadi partai politik yakni PKB.
[10] Untuk lengkap lagi, baca, Abdurrahman Wahid,  Pesantren Sebagai Sub-Kultur” .ed.)“Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren” (LKiS : Yogyakarta, 2010)hal.7.
[11] Islam dianggap sebagai solusi alternatif ditengah kacau-balaunya persoalan peradaban. Islam sebagai lembaga keagamaan selalu berusaha mengetengahi secara bijaksana. Baca, Prof. inu kencana Syafi’ei, “Pengantar Filsafat” (Jakarta : UI Press,2011).hal.145
[12] Baca kembali dalam buku, Dr.Abu Yazid,M.A,LL.M “Membangun Islam Tengah, Refleksi dua dekade Ma’had Ali Situbondo” (Yogyakarta : Pustaka Pesantren,2002)hal.145-147

0 komentar:

Posting Komentar