Pages

Ads 468x60px

Senin, 18 Februari 2013


Mempertegas Spirit Pluralisme Di Indonesia ; Menuju Masyarakat Civil Society
(ikhtiar Merumuskan Secara Aplikatif Pemimpin Ideal Masa Depan Indonesia )
Oleh : Moh Shiddiq*
Peristiwa kekerasan dan keberingasan secara perlahan menguasai diberbagai sektor kehidupan. Boleh dikata “tiada hari tanpa kekerasan”. Bahkan yang kita temukan diabad ke 21 ini adalah suatu kondisi dimana kekerasan dan keberingasan menyelinap juga kedalam kebijaksanaan institusi kemasyarakatan, termasuk yang memakai label agama. Ironisnya, kekerasan yang acap kali mengatas namakan agama telah menampakkan cirinya sebagai masyarakat modern.­­­­­­­­[1]
            Mengorek lika-liku perjalanan Indonesia tentu senantiasa tak lepas dari tragedi berdarah yang memakai label agama. Masih segar dalam ingatan bangsa terkait luka sejarah sejak tahun 1998 dan terakhir tatkala meletusnya bom Berkekuatan besar di Legian, Bali, maka lengkaplah penderitaan bangsa karena keberingasan menjadi sebuah “tradisi” yang melekat dalam memecahkan masalah di sekitarnya. Sementara akhir-akhir ini belum lama kita mendengar kisah memilukan pembantaian Jamaah Ahmadiyah di  Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor dipenghujung 2011. Yang lebih memprihatinkan pengusiran dan pembakaran pesantren Syiah di Sampang , Madura.
            Meletusnya peristiwa-peristiwa tragis yang demikian alot sejatinya lebih dikarenakan konstruksi masyarakat plural. Selama ini Negara Indonesia masih menaungi beragam etnik , budaya. Bahkan agama (multi-religius). Pada aras ini kemajemukan mengandung bencana besar jika tidak dikelola secara baik. Akibatnya, bila keadaan ini terus dibiarkan dapat mengancam stabilitas Negara dan berpotensi meretakkan solidaritas sosial. Bilamana ditarik pada jejak sejarah diabad pertengahan silam, saat dikumandangkannya perang suci yang melibatkan umat Islam dan Kristen juga di sebabkan berbedanya platform yang diusung. Hingga berakibat jatuhnya beribu-ribu korban jiwa. Bahkan mempertegang hubungan antar keduanya.
            Doktrin Islam dalam bentuk arti yang sebenarnya acap kali mengaitkan konsep keesaan tuhan pada prinsip kesatuan ummat. Alquran beberapa kali mendengungkan bahwa “manusia adalah umat yang tunggal “.[2] walaupun pada tataran praktisnya selalu ada kecenderungan untuk menghancurkan perumahan kemanusiannya. Dengan demikian, agama yang sakral menjadi profan dan tak lagi berbanding lurus dengan pesan luhur yang dibawanya.[3] Namun tampaknya budaya baku-hantam merupakan peristiwa yang tak terpisahkan dari historisitas manusia itu sendiri dan ini inheren dengan struktur penciptaan manusia.
            Kendati begitu, Alquran senantiasa menghimbau bahwa perbedaan suku, ras, dan bahasa bukanlah suatu alasan untuk melegitimasi pertikaian melainkan suatu kesempatan untuk saling mengenal (lita’arafu), jika melaksanakan kompetisi, pelaksanaan ini untuk saling menebarkan panji-panji kebajikan (faastabiqul khairat) bukan menegakkan kebajikan dalam wadah yang beragam melalui langkah ekstrim dan radikal.
Sekilas Mengintip Perjalanan Rasulullah
Ditengah kegelapan arab jahiliah yang dipenuhi masyarakat amoral, tak beradab, dan mengalami “kegersangan spiritual” muncullah Muhammad sang pembawa kesejukan bagi masyarakat Arab (minadz dzulumaati ilan nuuri ) melalui ajaran sucinya (Islam) yang mengusung misi rahmatal lil alamiiin. Dalam proses islamisasi yang dilancarkan Nabi (Rasulullah) tiada cara satu pun melalui pemaksaan ideologi (la ikraaha fi diin), apalagi menghunus pedang untuk orang kafir yang menolak ajarannya, dalam rangka menyebar risalah kenabiaannya semuanya memakai pendekatan persuasif yang mengarah pada pola sikap lemah-lembut. Itulah sebabnya Islam pada masa Nabi terus menerus ada pada jalan lurus sebagai agama penebar rahmat (bukan laknat) bagi seluruh alam.
Dalam catatan sejarah Islam tatkala Rasulullah belum menyampaikan risalah kenabiannya (pra-Islam) posisi perempuan berada pada kolong subordinatif, setidaknya hal ini dapat dihadapkan pada satu kenyataan dimana perempuan dipandang hina, remeh, rendah, dan disepelekan. Hakikat diri perempuan dianggap tidak memenuhi kemanusiaan yang hakiki. Pada ranah ini, perempuan untuk menyuarakan aspirasi dalam ruang lingkup kehidupannya seringkali dibungkam oleh kaum laki-laki. Mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan sebab, dalam peraturan dan tradisi yang kokoh kala itu bahwa harta warisan hanya pantas didapatkan laki-laki. Alasan yang mengemuka dikarenakan laki-laki mampu“mengayunkan senjata perang”. Bahkan lebih mengenaskan keberadaan tamu-tamu istimewa lebih dimuliakan dari pada dirinya.[4]
Hal lain yang tak jauh berbeda terdapat firman Allah dalam Quran Surat An-Nahl 58-59 yang subtansi pembahasannya merupakan miniatur dari realitas apatisme feminisme masyarakat Arab Jahiliah; perempuan dikubur  secara hidup-hidup tanpa berperasaan karena asumsi kesulitan mencari maisyah (penghidupan) pula untuk menghindari kemiskinan dan kefakiran berlebihan.[5] Mencermati secara sekilas dari penjabaran historis ini, perempuan memang dalam titik memperihatinkan sebelum kedatangan Islam di semenanjung daratan Arab.
Akan tetapi wawasan asimetris-feminis yang bercokol dalam masyarakat Nabi Muhammad secara perlahan dapat diruntuhkan secara menyeluruh melalui upaya penyadaran unit terkecil keluarga (quu anfusikum wa ahliikum naaara). Tentunya hal ini tak luput dari sentuhan halus “tangan” beliau.[6] Pada sumbu ini dipahami secara menyeluruh bahwa Rasulullah menghendaki kedamaian secara lestari dalam masyarakat majemuk tanpa kekerasan dan kekasaran.
Sejatinya, terbentuknya masyarakat civil society di Madinah adalah di tandai dengan munculnya Piagam Madinah dimana sendi-sendi kebijakannya berpangkalkan pada asas persamaan, pemerataan hak, baik yang berbeda ras, suku, gender, maupun Agama. Alhasil, tidak ada prasangka rasial dan yang berjenis Agama. Tepat pada masa itu Islam merengkuh masa keemasannya karena tak lepas dari terbangunnya harkat martabat kemanusiaan. Maka selanjutnya merembes pada tergeraknya peradaban Islam itu sendiri. Berangkat dari kekagumannya pengajar study sejarah Islam , Marshall GS Hudgson dari University of Chicago memantapkan pendapat bahwa Madinah merupakan Negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7]
Saatnya Memperkukuh Pluralisme
            Dalam konteks keindonesiaan pejuang pluralisme yang tetap layak diperhitungkan hingga detik ini adalah KH Abdurrahman Wahid walaupun jasad terkubur dengan tanah, Karena itu perlu adanya semangat rekonstruksi wawasan pluralisme ditengah kekisruhan umat beragama dalam rangka membangun kemanusiaan yang beradab sesuai dengan fakta sejarah di beberapa ratus tahun yang silam.
            Ada beberapa alasan yang mesti diakui akan pentingnya pluralisme agama di Indonesia terutama berkaitan langsung dengan didaulatnya Indonesia sebagai Negara yang bernaung di tubuh Pancasila. Nyaris tidak ada yang tahu dalam penggalan konseptual kebangsaan kita. Lebih-lebih dialog antara Islam dan kesadaran kebangsaan Indonesia bahwa sejak tahun 1919, tiga sepupu dengan intensif membicarakan tentang seperangkat ajaran Islam dengan nasionalisme Indonesia. Para pembincang ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto, KH Hasjim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah. Belakangan menantu H.O.S Tjokroaminoto yang berusia 18 tahun yakni Soekarno turut terlibat aktif di setiap pertemuan mingguan yang berlangsung sampai bertahun-tahun. Kesadaran kebangsaan inilah yang kemudian diwarisi kader-kader berikutnya seperti Abdul Wahid Hasjim (putra tokoh pendiri NU) KH. A Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo sugito (Tokoh Ahmadiyah).[8]
            Berbicara tentang sebab, bahwa latar perumusan serta pengkorelasian seperangkat puzzle Islam dengan Negara, (walaupun menjadi Negara republik, bukan Islam) tak lain disebabkan oleh prediksi kekalutan bangsa. Sebab,dalam catatan historis menampakkan akan pertikaian dan pembantaian darah kemanusiaan. Ini, tentu merujuk pada perjalanan sejarah Wahabi yang memasukkan kepentingan politik ke dalam Agama, hingga pada gilirannya menumpahkan beribu-ribu korban jiwa ; ambil missal, tragedi berdarah di Karbala, Jamaah Haji di Makkah. Namun begitu, Indonesia turut andil  dalam upaya mendamaikan pada Komite Hijaz di Makkah; sebuah perembukan perdamaian keprihatinan Indonesia atas pembantaian umat Islam oleh Wahabi. Hingga akhirnya umat muslim dunia aman dalam melaksanakan ritus keagamaan di Makkah.
Tindakan mulia leluhur bangsa itu, dalam rangka menuju kedamaian sejati seperti sakralitas seperangkat ajaran Rasul. Selain itu, pada prinsipnya tidak ada _baik secara verbal  maupun tidak_akan bangunan Negara Islam masa Nabi. Hal ini penulis sandarkan pada tesis Rasyid Ridha, seorang pembaharu modern bahwa, Negara madinah masa Nabi merupakan proses institusionalitas dalam upaya menuju Negara demokratis.
Dengan begitu, berarti Indonesia memegang teguh warisan leluhur bangsa. Terlebih lagi juga selalu mempertahankan ajaran moral Rasul di ruang gerak parlementer dalam rangka merangkai keabadian yang sejahtera ditengah panasnya pertikaian alot umat beragama, Karena berbagai peristiwa yang tersaji saat ini memungkinkan lebih kompleks permasalahannya di masa mendatang. Tanpa dipertegas lagi Indonesia tak pantas bernaung di keteduhan pancasila yang integral dengan corak kebangsaan yang majemuk.
Menyongsong periode pemilihan calon presiden baru 2014 segenap elemen bangsa semestinya selektif menyiasati kesempatan yang tinggal “dua jengkal” tahun lagi ini. Setidaknya dua belas varian bentuk kepemimpinan harus terpenuhi secara optimal.
§  Memiliki Jiwa Leadership
Pemaknaan secara harfiah dari kata leadership adalah mempunyai daya tamping yang tinggi dalam mengarahkan masyarakat pada arah kesepakatan bersama yang maslahah bil ummah. Ini tidak menutup kemungkinan bagi kiai untuk berkecimpung dalm dunia kepemimpinan (misalkan seperti Gus Dur) yang secara geneologis kharismatik.jika tidak, maka bisa memungkinkan orang-orang yang dekat dengan kiai__mendapatkan dukungan (semisal Mahfudz MD yang periode Gus Dur menjabat sebagai Menteri Pertahanan) dari berbagai pihak.
Pada waktu bersamaan berupaya menanamkan kesadaran kebangsaan Negara (NKRI), menjunjung asas demokratisasi. Secara sederhana mampu menyinkronkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Lebih mendesak lagi pemimpin yang mengedepankan kewajiban dan haknya dengan masyarakat ditengah hedonisme kaum elit.
§ Pengetahuan Yang Luas.
Terutama menyangkut ilmu di bidang yang sesuai dengan tugasnya, setidak-tidaknya berkesesuaian pendidikan dengan jabatan yang dipangkunya. Pengalaman dan keberanian juga mutlak dibutuhkan sebagai wahana efektif membumi hanguskan bentuk tindak elit yang tidak seirama dengan cita-cita luhur bangsa (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
§      Mengalami penempaan mental yang masak, karena apapun alasannya pengaruh tekanan mental memberikan efek luar biasa bagi jiwa kepemimpinan seseorang. Sejarah mencatat bahwa kepemimipinan Rasulullah , berlangsung bukan tanpa hambatan. Kekerasan mental tidak hanya beliau rasakan, melainkan kekerasan fisik, dihina, dicemooh, dan disakiti.[9]
§     Kemampuan analisis masalah.
§     Daya ingat yang kuat.
§      Kemahiran mengatur integrasi berbagai perpecahan, yakni mampu mempersatukan beragam spesialisasi menjadi kesatuan komando (Unity Of Command) yang dapat diarahkan pada pencapaian tujuan  bersama.
§     Kecakapan komunikatif, ramah terhadap semua “jenis kelamin”sosial, tak hanya menjunjung orang atas kan tetapi juga mampu mengayomi masyrakat akar rumput (Grass root)
§     Berkemauan mendengar saran dan koreksi dari orang lain.
§     Berpikir objektif serta rasional; kemudian peka terhadap lingkungan sekitar.
§     Bertindak tegas yang bernaluri memutuskan; apa yang mendesak dan prioritas , apa relevansinya, serta kapan harus bertindak.
§      Bersikap konsisten, berani melawan resiko dalam upaya mencapai tujuan bersama.
§     Rasa ingin tau besar dalam spesialisasi kenegaraan.
Dengan pemaparan cukup komprehensif diatas bahwa terdapat korelasi erat sejarah masa terdahulu (Nabi) berikut serta sejarah masa depan Indonesia. Tentunya, implisit makna spirit pluralisme Nabi Muhammad yang tertuang dalam norma-norma Pancasila. Dengan tetap berpegang teguh pada hukum Pancasila bukanlah suatu hal mustahil bagi Indonesia untuk merobohkan identitas bobrok bangsa dalam berbagai sisi, tak terkecuali di kursi parlementer maupun dalam biduk keberagamaan. Alhasil, gelar masyarakat civil society versi Indonesia patut disematkan.(*)


*penulis adalah siswa MA 1Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.





[1] Hal ini tercermin akan maraknya nasionalisme etnik yang memicu perang local umat beragama. Baca Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama” dalam Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , , (Yogyakarta : Jendela, 2003). Hal.2.
[2] QS Al Baqarah : 213, juga QS Yunus: 19
[3] Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama”, (Yogyakarta : Jendela, 2003). Halaman 02.

[4] Telisik ulang dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk, “Wanita-wanita Shalihah dalam Cahaya Kenabian”, (Yogyakarta : Mitara Pustaka, Juni 2002), halaman. 10-11.
6 Cek lagi di dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk . ibid…….. hal 14-15
[6] Proses pembumi hangusan segala bentuk prasangka negative terhadap perempuan dirajut dalam bentuk ikatan suci beliau dengan Siti Khadijah. Mahmud Mahdi Al Istambuli, dkk “Wanita-Wanita Shalihah Dalam Cahaya Nabi” . ibid hal 18-19
[7] Telusuri kembali dalam Marshall GS Hudgson, The Venture Of Islam, (Jakarta : Paramadina, 2002)hal 99.
[8] Cek lagi KH Abdurrahman Wahid (ed,) ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indsonesia.KH. Abdurrahman Wahid “Musuh Dalam Selimut (Jakarta : The Wahid Institute, 2009)hal 15.
[9] Telisik ulang, Nourouzzaman Shiddiqi, “Jeram-Jeram Peradaban Muslim” cetakan 1(Yogyakarta : pustaka Pelajar, 1996 ). Hal 101.

0 komentar:

Posting Komentar