Mempertegas Spirit Pluralisme Di Indonesia ; Menuju Masyarakat
Civil Society
(ikhtiar
Merumuskan Secara Aplikatif Pemimpin Ideal Masa Depan Indonesia )
Oleh : Moh Shiddiq*
Peristiwa
kekerasan dan keberingasan secara perlahan menguasai diberbagai sektor
kehidupan. Boleh dikata “tiada hari tanpa kekerasan”. Bahkan yang kita temukan
diabad ke 21 ini adalah suatu kondisi dimana kekerasan dan keberingasan
menyelinap juga kedalam kebijaksanaan institusi kemasyarakatan, termasuk yang
memakai label agama. Ironisnya, kekerasan yang acap kali mengatas namakan agama
telah menampakkan cirinya sebagai masyarakat modern.[1]
Mengorek lika-liku
perjalanan Indonesia tentu senantiasa tak lepas dari tragedi berdarah yang
memakai label agama. Masih segar dalam ingatan bangsa terkait luka sejarah
sejak tahun 1998 dan terakhir tatkala meletusnya bom Berkekuatan besar di
Legian, Bali, maka lengkaplah penderitaan bangsa karena keberingasan menjadi
sebuah “tradisi” yang melekat dalam memecahkan masalah di sekitarnya. Sementara
akhir-akhir ini belum lama kita mendengar kisah memilukan pembantaian Jamaah
Ahmadiyah di Cikeusik, Banten, dan
konflik pembangunan Gereja GKI Bogor dipenghujung 2011. Yang lebih
memprihatinkan pengusiran dan pembakaran pesantren Syiah di Sampang , Madura.
Meletusnya
peristiwa-peristiwa tragis yang demikian alot sejatinya lebih dikarenakan
konstruksi masyarakat plural. Selama ini Negara Indonesia masih menaungi
beragam etnik , budaya. Bahkan agama (multi-religius). Pada aras ini
kemajemukan mengandung bencana besar jika tidak dikelola secara baik.
Akibatnya, bila keadaan ini terus dibiarkan dapat mengancam stabilitas Negara
dan berpotensi meretakkan solidaritas sosial. Bilamana ditarik pada jejak
sejarah diabad pertengahan silam, saat dikumandangkannya perang suci yang
melibatkan umat Islam dan Kristen juga di sebabkan berbedanya platform yang
diusung. Hingga berakibat jatuhnya beribu-ribu korban jiwa. Bahkan
mempertegang hubungan antar keduanya.
Doktrin Islam
dalam bentuk arti yang sebenarnya acap kali mengaitkan konsep keesaan tuhan
pada prinsip kesatuan ummat. Alquran beberapa kali mendengungkan bahwa “manusia
adalah umat yang tunggal “.[2]
walaupun pada tataran praktisnya selalu ada kecenderungan untuk menghancurkan
perumahan kemanusiannya. Dengan demikian, agama yang sakral menjadi profan dan
tak lagi berbanding lurus dengan pesan luhur yang dibawanya.[3]
Namun tampaknya budaya baku-hantam merupakan peristiwa yang tak terpisahkan
dari historisitas manusia itu sendiri dan ini inheren dengan struktur
penciptaan manusia.
Kendati begitu,
Alquran senantiasa menghimbau bahwa perbedaan suku, ras, dan bahasa bukanlah
suatu alasan untuk melegitimasi pertikaian melainkan suatu kesempatan untuk
saling mengenal (lita’arafu), jika melaksanakan kompetisi, pelaksanaan
ini untuk saling menebarkan panji-panji kebajikan (faastabiqul khairat)
bukan menegakkan kebajikan dalam wadah yang beragam melalui langkah ekstrim dan
radikal.
Sekilas Mengintip Perjalanan Rasulullah
Ditengah
kegelapan arab jahiliah yang dipenuhi masyarakat amoral, tak beradab, dan
mengalami “kegersangan spiritual” muncullah Muhammad sang pembawa kesejukan
bagi masyarakat Arab (minadz dzulumaati ilan nuuri ) melalui ajaran
sucinya (Islam) yang mengusung misi rahmatal lil alamiiin. Dalam proses
islamisasi yang dilancarkan Nabi (Rasulullah) tiada cara satu pun melalui
pemaksaan ideologi (la ikraaha fi diin), apalagi menghunus pedang untuk
orang kafir yang menolak ajarannya, dalam rangka menyebar risalah kenabiaannya
semuanya memakai pendekatan persuasif yang mengarah pada pola sikap
lemah-lembut. Itulah sebabnya Islam pada masa Nabi terus menerus ada pada jalan
lurus sebagai agama penebar rahmat (bukan laknat) bagi seluruh alam.
Dalam catatan
sejarah Islam tatkala Rasulullah belum menyampaikan risalah kenabiannya
(pra-Islam) posisi perempuan berada pada kolong subordinatif, setidaknya hal
ini dapat dihadapkan pada satu kenyataan dimana perempuan dipandang hina,
remeh, rendah, dan disepelekan. Hakikat diri perempuan dianggap tidak memenuhi
kemanusiaan yang hakiki. Pada ranah ini, perempuan untuk menyuarakan aspirasi
dalam ruang lingkup kehidupannya seringkali dibungkam oleh kaum laki-laki.
Mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan sebab, dalam peraturan dan
tradisi yang kokoh kala itu bahwa harta warisan hanya pantas didapatkan
laki-laki. Alasan yang mengemuka dikarenakan laki-laki mampu“mengayunkan
senjata perang”. Bahkan lebih mengenaskan keberadaan tamu-tamu istimewa lebih
dimuliakan dari pada dirinya.[4]
Hal lain yang
tak jauh berbeda terdapat firman Allah dalam Quran Surat An-Nahl 58-59 yang
subtansi pembahasannya merupakan miniatur dari realitas apatisme feminisme
masyarakat Arab Jahiliah; perempuan dikubur
secara hidup-hidup tanpa berperasaan karena asumsi kesulitan mencari maisyah
(penghidupan) pula untuk menghindari kemiskinan dan kefakiran
berlebihan.[5]
Mencermati secara sekilas dari penjabaran historis ini, perempuan memang dalam
titik memperihatinkan sebelum kedatangan Islam di semenanjung daratan Arab.
Akan tetapi
wawasan asimetris-feminis yang bercokol dalam masyarakat Nabi Muhammad secara
perlahan dapat diruntuhkan secara menyeluruh melalui upaya penyadaran unit
terkecil keluarga (quu anfusikum wa ahliikum naaara). Tentunya hal ini
tak luput dari sentuhan halus “tangan” beliau.[6]
Pada sumbu ini dipahami secara menyeluruh bahwa Rasulullah menghendaki
kedamaian secara lestari dalam masyarakat majemuk tanpa kekerasan dan
kekasaran.
Sejatinya,
terbentuknya masyarakat civil society di Madinah adalah di tandai dengan
munculnya Piagam Madinah dimana sendi-sendi kebijakannya berpangkalkan pada
asas persamaan, pemerataan hak, baik yang berbeda ras, suku, gender, maupun
Agama. Alhasil, tidak ada prasangka rasial dan yang berjenis Agama. Tepat pada
masa itu Islam merengkuh masa keemasannya karena tak lepas dari terbangunnya
harkat martabat kemanusiaan. Maka selanjutnya merembes pada tergeraknya
peradaban Islam itu sendiri. Berangkat dari kekagumannya pengajar study sejarah
Islam , Marshall GS Hudgson dari University of Chicago memantapkan pendapat
bahwa Madinah merupakan Negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7]
Saatnya Memperkukuh Pluralisme
Dalam konteks
keindonesiaan pejuang pluralisme yang tetap layak diperhitungkan hingga detik
ini adalah KH Abdurrahman Wahid walaupun jasad terkubur dengan tanah, Karena
itu perlu adanya semangat rekonstruksi wawasan pluralisme ditengah kekisruhan
umat beragama dalam rangka membangun kemanusiaan yang beradab sesuai dengan
fakta sejarah di beberapa ratus tahun yang silam.
Ada beberapa
alasan yang mesti diakui akan pentingnya pluralisme agama di Indonesia terutama
berkaitan langsung dengan didaulatnya Indonesia sebagai Negara yang bernaung di
tubuh Pancasila. Nyaris tidak ada yang tahu dalam penggalan konseptual
kebangsaan kita. Lebih-lebih dialog antara Islam dan kesadaran kebangsaan
Indonesia bahwa sejak tahun 1919, tiga sepupu dengan intensif membicarakan
tentang seperangkat ajaran Islam dengan nasionalisme Indonesia. Para pembincang
ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto, KH Hasjim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah.
Belakangan menantu H.O.S Tjokroaminoto yang berusia 18 tahun yakni Soekarno
turut terlibat aktif di setiap pertemuan mingguan yang berlangsung sampai
bertahun-tahun. Kesadaran kebangsaan inilah yang kemudian diwarisi kader-kader
berikutnya seperti Abdul Wahid Hasjim (putra tokoh pendiri NU) KH. A Kahar
Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo sugito (Tokoh
Ahmadiyah).[8]
Berbicara tentang
sebab, bahwa latar perumusan serta pengkorelasian seperangkat puzzle Islam
dengan Negara, (walaupun menjadi Negara republik, bukan Islam) tak lain
disebabkan oleh prediksi kekalutan bangsa. Sebab,dalam catatan historis
menampakkan akan pertikaian dan pembantaian darah kemanusiaan. Ini, tentu
merujuk pada perjalanan sejarah Wahabi yang memasukkan kepentingan politik ke
dalam Agama, hingga pada gilirannya menumpahkan beribu-ribu korban jiwa ; ambil
missal, tragedi berdarah di Karbala, Jamaah Haji di Makkah. Namun begitu,
Indonesia turut andil dalam upaya
mendamaikan pada Komite Hijaz di Makkah; sebuah perembukan perdamaian
keprihatinan Indonesia atas pembantaian umat Islam oleh Wahabi. Hingga akhirnya
umat muslim dunia aman dalam melaksanakan ritus keagamaan di Makkah.
Tindakan mulia
leluhur bangsa itu, dalam rangka menuju kedamaian sejati seperti sakralitas seperangkat
ajaran Rasul. Selain itu, pada prinsipnya tidak ada _baik secara verbal maupun tidak_akan bangunan Negara Islam masa
Nabi. Hal ini penulis sandarkan pada tesis Rasyid Ridha, seorang pembaharu
modern bahwa, Negara madinah masa Nabi merupakan proses institusionalitas dalam
upaya menuju Negara demokratis.
Dengan begitu,
berarti Indonesia memegang teguh warisan leluhur bangsa. Terlebih lagi juga
selalu mempertahankan ajaran moral Rasul di ruang gerak parlementer dalam
rangka merangkai keabadian yang sejahtera ditengah panasnya pertikaian alot
umat beragama, Karena berbagai peristiwa yang tersaji saat ini memungkinkan
lebih kompleks permasalahannya di masa mendatang. Tanpa dipertegas lagi
Indonesia tak pantas bernaung di keteduhan pancasila yang integral dengan corak
kebangsaan yang majemuk.
Menyongsong
periode pemilihan calon presiden baru 2014 segenap elemen bangsa semestinya
selektif menyiasati kesempatan yang tinggal “dua jengkal” tahun lagi ini.
Setidaknya dua belas varian bentuk kepemimpinan harus terpenuhi secara optimal.
§
Memiliki Jiwa Leadership
Pemaknaan secara harfiah dari kata leadership adalah mempunyai daya
tamping yang tinggi dalam mengarahkan masyarakat pada arah kesepakatan bersama
yang maslahah bil ummah. Ini tidak menutup kemungkinan bagi kiai untuk
berkecimpung dalm dunia kepemimpinan (misalkan seperti Gus Dur) yang secara
geneologis kharismatik.jika tidak, maka bisa memungkinkan orang-orang yang
dekat dengan kiai__mendapatkan dukungan (semisal Mahfudz MD yang periode Gus
Dur menjabat sebagai Menteri Pertahanan) dari berbagai pihak.
Pada waktu bersamaan berupaya menanamkan kesadaran kebangsaan
Negara (NKRI), menjunjung asas demokratisasi. Secara sederhana mampu
menyinkronkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum masyarakat Indonesia.
Lebih mendesak lagi pemimpin yang mengedepankan kewajiban dan haknya dengan
masyarakat ditengah hedonisme kaum elit.
§
Pengetahuan Yang Luas.
Terutama menyangkut ilmu di bidang yang sesuai dengan tugasnya,
setidak-tidaknya berkesesuaian pendidikan dengan jabatan yang dipangkunya.
Pengalaman dan keberanian juga mutlak dibutuhkan sebagai wahana efektif membumi
hanguskan bentuk tindak elit yang tidak seirama dengan cita-cita luhur bangsa
(Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
§
Mengalami penempaan mental yang
masak, karena apapun alasannya pengaruh tekanan mental memberikan efek luar
biasa bagi jiwa kepemimpinan seseorang. Sejarah mencatat bahwa kepemimipinan
Rasulullah , berlangsung bukan tanpa hambatan. Kekerasan mental tidak hanya
beliau rasakan, melainkan kekerasan fisik, dihina, dicemooh, dan disakiti.[9]
§ Kemampuan
analisis masalah.
§ Daya
ingat yang kuat.
§
Kemahiran mengatur integrasi
berbagai perpecahan, yakni mampu mempersatukan beragam spesialisasi menjadi
kesatuan komando (Unity Of Command) yang dapat diarahkan pada pencapaian
tujuan bersama.
§ Kecakapan
komunikatif, ramah terhadap semua “jenis kelamin”sosial, tak hanya menjunjung
orang atas kan tetapi juga mampu mengayomi masyrakat akar rumput (Grass root)
§ Berkemauan
mendengar saran dan koreksi dari orang lain.
§ Berpikir
objektif serta rasional; kemudian peka terhadap lingkungan sekitar.
§ Bertindak
tegas yang bernaluri memutuskan; apa yang mendesak dan prioritas , apa
relevansinya, serta kapan harus bertindak.
§ Bersikap konsisten, berani melawan resiko
dalam upaya mencapai tujuan bersama.
§ Rasa
ingin tau besar dalam spesialisasi kenegaraan.
Dengan pemaparan cukup komprehensif diatas bahwa terdapat korelasi
erat sejarah masa terdahulu (Nabi) berikut serta sejarah masa depan Indonesia.
Tentunya, implisit makna spirit pluralisme Nabi Muhammad yang tertuang dalam
norma-norma Pancasila. Dengan tetap berpegang teguh pada hukum Pancasila
bukanlah suatu hal mustahil bagi Indonesia untuk merobohkan identitas bobrok
bangsa dalam berbagai sisi, tak terkecuali di kursi parlementer maupun dalam
biduk keberagamaan. Alhasil, gelar masyarakat civil society versi
Indonesia patut disematkan.(*)
*penulis adalah siswa MA 1Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.
[1]
Hal ini tercermin akan maraknya nasionalisme etnik yang memicu perang local
umat beragama. Baca Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam
perspektif Agama” dalam Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan
Kemanusiaan , , (Yogyakarta : Jendela, 2003). Hal.2.
[2]
QS Al Baqarah : 213, juga QS Yunus: 19
[3]
Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , Syafi’I Maarif, “Manusia
Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama”, (Yogyakarta : Jendela, 2003).
Halaman 02.
[4]
Telisik ulang dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk, “Wanita-wanita Shalihah
dalam Cahaya Kenabian”, (Yogyakarta : Mitara Pustaka, Juni 2002), halaman.
10-11.
[6]
Proses pembumi hangusan segala bentuk prasangka negative terhadap perempuan
dirajut dalam bentuk ikatan suci beliau dengan Siti Khadijah. Mahmud Mahdi Al
Istambuli, dkk “Wanita-Wanita Shalihah Dalam Cahaya Nabi” . ibid hal
18-19
[7]
Telusuri kembali dalam Marshall GS Hudgson, The Venture Of Islam, (Jakarta
: Paramadina, 2002)hal 99.
[8]
Cek lagi KH Abdurrahman Wahid (ed,) ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan
Islam Transnasional Di Indsonesia.KH. Abdurrahman Wahid “Musuh Dalam
Selimut” (Jakarta : The Wahid Institute, 2009)hal 15.
[9]
Telisik ulang, Nourouzzaman Shiddiqi, “Jeram-Jeram Peradaban Muslim”
cetakan 1(Yogyakarta : pustaka Pelajar, 1996 ). Hal 101.
0 komentar:
Posting Komentar