Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan
meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida
lebih dikenal sebgai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf
ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama
kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah
konsep. Dekonstruksi, alat yang digunakan untuk meruntuhkan
konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Saya akan memulai
penjelasan mengenai konsep dekonstruksi dengan memberikan sebuah contoh
dari implementasi dekonstruksi sederhana. Anda pasti tahu Batman ??
Seorang pahlawan dari kota Gotham, yang diciptakan oleh ilustrator
Amerika, Bob Kane, pada tahun 1938. Batman berbeda dengan Superman. Jika
Superman menegakkan kebenaran dan keadilan yang dilandasi semangat
cinta dan keikhlasan, maka sebaliknya Batman –dengan tangan kosong-
menegakkan kebenaran setelah kedua orangtuanya dibunuh, –yang tidak
lain- dapat saya katakan jika Batman memulai “kariernya” itu dengan
melakukan pembalasan dendam. Nah, kepada Batman inilah, terminologi
Derrida dapat diterapkan, Batman telah “mendekonstruksi” konsep pahlawan
selama ini. Konsep pahlawan yg selama ini dianggap sesuatu pekerjaan
tulus, tanpa latarbelakang “pembalasan dendam” yang mendasarinya,
didekonstruksi oleh Batman. Secara singkat, ia mendekonstruksi konsep
yang selama ini kita terima sebagai sesuatu yang sudah jelas dan baku
dihadapkan dengan antitesisnya. Jadi, bukan hanya kemalangan atau
kekejaman yang ternyata diperlukan untuk menyediakan peluang bagi
heroisme, namun juga kualitas2 inheren di dlaam tindak kepahlawanan
–sama seperti ketika Batman menggunakan kekerasan untuk mengalahkan
musuh yang hendak menuntut keadilan kepadanya, seperti Joker.
Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa
kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita
selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita.
Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya
akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam
kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh
lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk
dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh,
tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia
mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau
seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang
yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita
nampaknya selalu meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan
bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi
untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”. Kesulitan ini lebih bermuara
pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui
jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa.
Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman
terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek
yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak
didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis
mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada
tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :
“…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode
apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun
budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis
yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah
merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa
dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis
atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang
dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa”
dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin
pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus
diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”
Membingungkan ? Mengenai ini, Derrida menganalogikan Dekonstruksi
dengan sebuah contoh dari sejarah filsafat di dalam cerita Phaedrus.
Katanya, Plato menceritakan menceritakan mitos mengenai seorang raja
Mesir Thamus yang ditawari oleh dewa Thoth kreasinya yang berupa
tulisan. Tetapi, Thamus menolaknya. Ia menilai jika tulisan lebih
mempunyai banyak potensi bahaya melebihi manfaatnya bagi manusia.
Memang, tulisan dapat menawarkan sebuah ingatan kultural dan intelektual
yang semakin sulit dikalahkan oleh waktu –yang melebihi penurunan
informasi secara turun-temurun melalui tradisi oral. Tetapi karena
kemudahan untuk menyerap informasi dari tulisan inilah, maka kemampuan
memori manusia mulai merosot. Guru-guru mulai menjadikan buku (tulisan)
sebagai penuntun bagi murid-muridnya –di mana tanpa mereka, murid-murid
dapat mengalami misinterpretasi terhadap apa yang telah diajarkan oleh
gurunya. Dengan adanya buku, maka perlahan-lahan saksi paternal dan
budaya saling menyayangi dari guru ke murid akan mulai pudar. Hal inilah
–sebenarnya- yang menjadi esensi dan pengetahuan sejati yang diturunkan
oleh seorang guru terhadap muridnya -karena guru yang dewasa dan
bijaksana secara sejati, memiliki otoritas yang lebih besar daripada
tulisan dan tinta, dan dapat menurunkan kedua faktor di atas kepada
muridnya. Tulisan hanya akan menjadikan metode pembelajaran sekedar
sebagai metode penghafalan, peralatan mekanis untuk menciptakan
simulakrum pengetahuan. Bahkan, kata Derrida, Barat sering mencurigai
mereka yang mempelajari segala sesuatu dari buku, seolah-olah buku mampu
menyingkapkan dan mengungkapkan pengetahuan yang sejatinya tidak mereka
pahami. Derrida berpendapat jika pengistimewaan ucapan di atas tulisan
seperti ini merupakan prasangka endemik dalam tradisi filsafat dan agama
Barat. Derrida melihat jika Plato dalam Phaedrus jatuh dalam
metafora-metafora yang ada dalam praktik penulisan. Hal-hal yang
dianggap positif dalam cerita –seperti ucapan, memori hidup, dan
kehadiran guru- didefinisikan berdasarkan perbedaan kontrasnya dengan
hal-hal yang mengancam mereka. Ucapan, contohnya, bukan sesuatu yang
berbeda secara fundamental dengan tulisan, melainkan hanya representasi
dan semacam tulisan “yang baik”, yang tertulis dalam “jiwa para
siswanya”. Plato dapat menggunakan berbagai macam metafora untuk
menjelaskan filsafatnya, tetapi tanpa metafora sekalipun, tetap saja,
menurut Derrida mereka setara dengan membaca teks belaka. Mudahnya,
bagaimana tulisan dapat mengunci dengan kuat bunyi/kata yang keluar dan
mereka ucapkan ? Derrida menolak anggapan jika makna mempunyai
korespondensi ideal antara bunyi sebuah kata dengan subjek dan makna
yang dikandungnya. Menurut Derrida, relasi merupakan objek yang arbiter,
yang berubah-ubah menurut waktu. Pendekatan dekonstruktif lebih
menyoroti isi teks agar ia dapat menyingkapkan makna yang seharusnya
literal namun telah termanifestasi ke dalam berbagai metafora maupun
perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi bukan utk menjembatani dua
jurang yang ada itu –antara kata dan makna-, melainkan hanya utnuk
menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya ada dan tidak dapat
dielakkan lagi.
Saya dapat memberikan contoh yang sangat berkaitan dengan kehidupan
sehari-hari. Misalnya, Anda menganggap agama yang Anda anut merupakan
sebuah “agama sempurna”. Jika suatu hari Anda/orang lain tiba-tiba
mempertanyakan salah satu bagian agama itu, atau bahkan mungkin
meragukannya, maka Anda harus mempertimbangkan kembali kesempurnaan
agama Anda itu. Setidaknya, Anda harus kembali mendefinisikan konsep
sempurna itu, karena bagaimana pun, konsep kesempurnaan agama Anda itu
sudah menjadi tidak sempurna lagi. Konsep yang tidak sempurna inilah
yang menjadi satu-satunya konsep yang Anda miliki, karena pada waktu
yang bersamaan akan selalu ada kemungkinan bagi sebuah pemaknaan bahwa
agama Anda itu ternyata bukanlah “agama sempurna”. Menurut dekonstruksi,
kita tidak akan dapat mencapai titik definitif dari konsep-konsep kita.
Sama halnya jika Anda berdebat mengenai penyebab dan efek
kebakaran. Anda menduga-menduga kapan api itu menjalar (penyebabnya)
atau efeknya. Namun setelah Anda merenungkannya sejenak, akan didapati
jika perbedaan antara “sebelum” dan “setelah” tersebut terdiri dari satu
titik yang terlalu sukar utnuk dipadatkan dan dibagi menjadi 2 (menjadi
“sebelum” dan “sesudah”). Ini juga berlaku pada kata-kata, ia terlihat
sarat makna jika terdengar di telinga, tetapi tiba-tiba ia seolah-olah
hanya menjadi sekam saat ktia jumpai di KBBI, ketika maknanya lenyap
ditelan oleh metafora dan sinonim-sinonim belaka. Tetapi, nilai penting
dari karya Derrida ini terletak pada kemampuannya untuk membuat kita
melihat jejak dari apa yang telah terabaikan dari konsep dan deskripsi
kita karena kelemahan-kelemahan ini merupakan satu entitas yang menjadi
kesatuan, yang mengakibatkan mereka tidak mustahil untuk ada dan eksis.
Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan lagi
dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah kita
menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu
dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.
0 komentar:
Posting Komentar