MENGUKUHKAN
SPIRIT KEASWAJAAN DI PESANTREN ; REFLEKSI ATAS KHITAH YANG MEMUDAR
(Upaya Mengambil Jalan Bijaksana)
Oleh : Moh
Shiddiq*)[1]
Pendahuluan
Pesantren
merupakan objek kajian paling menarik terkait dengan keberadaannya yang tetap survive
hingga saat ini. Sebab, kenyataan yang ada pesantren menua dan berumur
ringkih. Itulah sebabnya, pesantren tetap menjadi perhatian dominan dibanding
dengan kajian lainnya. Langkah awal yang lazim diketahui bahwa pesantren adalah
lembaga tertua yang menjadi cikal-bakal lahirnya sistem pendidikan variatif
lainnya di Indonesia. Kendatipun pada prinsipnya tidak mampu banyak referensi
mengungkap terkait awal kemunculan pesantren. Tetapi nyaris dipastikan bahwa
Pondok pesantren lahir seiring penyebaran yang dilakukan oleh Wali Songo.
Khususnya di pulau Jawa. Karena itu tidak heran tatkala kemudian disebutkan
bahwa perintis utama Pesantren adalah Syeikh Maulana Maghribi (W 822 H/ 1439 M
) yang merupakan orang pertama kali menyebarkan Agama Islam sebelum kedatangan
Wali yang Sembilan.[2]
Fase awal, pesantren dibentuk sebagai lembaga non-formal
dengan memusatkan pembelajaran dan aktivitasnya di Surau, Masjid atau Asrama
Santri. Pada umumnya materi yang dikaji berkisar pada Ilmu Keagaamaan. Seperti Tauhid, Aqidah, dan Tasawuf . Sedangkan kitab yang
dijadikan pegangan merupakan kitab-kitab yang dikarang pada abad pertengahan oleh para Salafuna as
Shalih.lantaran struktur kurikulumnya terlihat mengacu pada tataran praktis
yang kuno. Maka, pesantren diklaim sebagai lembaga konservatif.[3]
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdurrahman Wahid
(Gus Dur) bahwa pesantren merupakan sub-kultur masyarakat yang berada “diluar” masyarakat.
Bahasa lain dari pada hal tersebut bahwa pesantren sebenarnya senantiasa
berbeda dengan luar masyarakat yang sering kali tidak ”mengindahkan” ketertiban
ala pesantren. Praktisnya, kemudian mengukuhkan suatu ungkapan bahwa tidak
sekadar mementingkan transfer pengetahuan.(Transfer of
Knowledge) Melainkan, tidak
kalah penting melaksanakan transformasi tata nilai ke dalam lubuk hati para
santri.(Transfer
of Value)
Era orde baru, dimana pembangunan digalakkan merupakan
momok menakutkan bagi keberlangsungan pendidikan di pesantren. Bukan karena
tidak sinkron antar keduanya. Segala sesuatu yang ada memang saling berkait-kelindan.
Namun titik
pijak yang harus diperhatikan ulang bahwa pesantren mesti selalu memangku
tradisi ke”salafannya” yang dalam
kurun ini perlahan memudar. Bahkan terancam punah. Walaupun Harus diakui
secara seksama bahwa dalam teori kecenderungan, sesuatu yang terlihat baru
seringkali men”gerlingkan” perhatian. Hingga harus senantiasa waspada
menjalaninya.[4]
Menguak
Sejarah Aswaja (Ahl Sunnah Wal Jama’ah)
Perbincangan mengenai Ahl Sunnah Wal
Jamaah bisa dipastikan terlalu tabu. Namun meskipun demikian, masih menarik
untuk dibicarakan ulang. Hal ini lebih dikarenakan Ahl Sunnah Wal Jamaah
menjadi sebuah moderasi pemikiran (Tawasshuth) ditengah kerancuan
berpikir yang saling menjegal dan menyempitkan kebenaran hanya terbatas pada
dirinya. Tentu ini berkenaaan dengan pemikiran keislaman yang oleh John L
Esposito memiliki corak pemikiran yang kompleks dan kaya.
Sejak masa Rasulullah SAW persoalan
teologi menjadi perdebatan alot hingga pada gilirannya menjadi cikal-bakal lahirnya
beragam firqah yang menandaskan kebenaran hanya untuk dirinya. Lebih
dari itu premis yang harus ditegaskan bahwa pecahnya tubuh Islam yang pada
tahap perkembangannya bercerai-berai dengan kepentingan masing-masing bukan
sebab tendensi politik. Supaya mengetahui lebih dalam kita mesti mengembalikan
kepada sejarah yang pertama.
Saat
Nabi (Muhammad) mulai menyiarkan seperangkat ajaran-ajaran Islam yang telah
beliau terima di Makkah, kota yang awal kali pertama tempat diturunkannya wahyu ini berada di bawah
sistem kepemimpinan masyarakat Quraisy yang notabene keluarga besar Nabi. Hal
demikan terjadi sebab di abad ke dua dari abad enam masehi, jalur perdagangan Timur-Barat
berpindah dari teluk Persia-Euphrat di utara dan laut merah perlembahan Neil di
selatan, ke Yaman_Hijaz _Syiria. Peperangan berkepanjangan yang terjadi antara
Kerajaan Persia dengan Kerajaan Byzantium di jalur utara menjadikan suasana
tidak kondusif. Mesir yang berada dalam kekacauan sebab berdagang lewat utara
kemudian tidak menguntungkan dalam meningkatkan taraf perekonomiannya.[5]
Berpindahnya
jalur perdagangan Timur-Barat ke semenanjung Arabia di Makkah maka pada
akhirnya kota dagang ini menjadi kota kaya. Hal inilah sebenarnya yang dimaksud
dengan ayat rihlatas syitaai wa shaif dalam surah Quraisy. Dari arah
perdagangan yang sangat maju berimplikasi terhadap terambil-alihnya kekuasaan
pada tangan orang kaya dari suku Quraisy.[6]
Saat
masyarakat Makkah dalam keadaan berleha-leha dengan harta yang berlimpah.
Justru Nabi Muhammad dalam keadaan genting sebab kemiskinan yang diderita.sebab
itulah setelah ditinggal oleh bapak ibunya menjadi seorang anak pengembala
domba. Pada bagian lain ada sebuah masyarakat terpencil yakni di Madinah yang
membutuhkan seorang pemimpin, persengketaan keduanya diwarnai oleh suku Aus dan
Khazraj dalam menentukan pemimpin.Tepat
saat masyarakat Madinah menunaikan ibadah Haji di Makkah Nabi muhammad dielu-elukan. Tak ayal bila beliau hijrah dari Makkah ke Yastrib. Setelah sampai
pada masyarakat Madinah beliau bukan hanya menjadi teolog melainkan politikus ulung
hingga Madinah menjadi masyarakat madani
sesuai dengan ajaran luhur Islam. Tak berlebihan kiranya bila Marshall GS
Hudgson menyatakan bahwa Madinah adalah negara modern pertama dalam sejarah
peradaban dunia.[7]
Singkat
kata, bahwa pada dasarnya aras pertama kali muncul tak lain teologi yang
disusul politik praktis. Pada perkembangan selanjutnya karena wafatnya Nabi
terjadilah perpecahan untuk mengganti siapa calon yang pantas mengganti kedudukannya
sebagai pemimpin Arab kala itu. Praktisnya, masa khalifah Abu Bakar Shiddiq dan
Umar bin Khattab adalah masa kepemerintahan cukup aman. Tapi berlanjut pada
periode Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memasuki masa genting. Bahkan
pada saat itulah meruncing sebuah perbedaan dengan munculnya Syiah, Khawarij,
Murjiah, Qadariah, Jabariah, kaum Mu’tazilah dan akhirnya Ahlus Sunnah wal
Jamaah sebagai penengah dalam kemelut berkepanjangan.
Dalam
hal ini secara linguistik Ahlus Sunnah Wal Jamaah dapat ditelusuri bahwa kata Ahl,
menurut Fairuzzabadi dapat diartikan pemeluk aliran atau pengikut madzhab
(Ashab al Madzhab) jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab. Sedangkan Al
Sunnah adalah jalan para sahabat Nabi dan Tabiin. Sementara al
jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara prinsip yang
mesti dibedakan bahwa term Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kata integral.
Sebab terkadang ada sebuah lembaga yang mengatas-namakan Ahl Sunnah
saja, yang biasanya berwatak fundamental dan terlalu saklek dalam
memahami teks (Literal). Tak jarang pula ditemukan terlalu gila terhadap
konteks hingga kelihatan memperkosa teks (Liberal).[8]
Dalam
lensa keindonesiaan organisasi masyarakat yang berorientasi pada pengukuhan Ahl
Sunnah Wal Jamaah adalah NU.[9] Namun tampaknya
dilihat secara obyektif seakan-akan seperti yang disebut Said Agiel Siradj
cenderung menjadikan paham sebagai piranti formalitas. Karena itulah kemudian Aswaja
harus senantiasa dijadikan sebagai Manhaj Fikr. Bahkan lebih penting
dari itu disulap menjadi Manhaj Harakah dalam rangka turut andil dalam
memecahkan problematika sosial.
Harapan
Terhadap Pesantren
Sejarah
pesantren sebenarnya kurang begitu puas dibicarakan hingga Gus Dur
mengkhawatirkan pesantren terbuang dari akar masyarakat desa. Memasuki abad
yang berlari_ seperti yang dikatakan oleh Afrizal Malna, setidaknya menjadi
suatu ancaman tersendiri bagi kredibilitas pesantren bahkan masyarakat yang
berada diluar pesantren . Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa pesantren
adalah tempat istimewa tapi mempertimbangkan secara jernih merupakan harga mati
untuk memahaminya. Gus Dur kerap-kali menggaungkan bahwa Indonesia memiliki
kultur sendiri yang amat berbeda dengan Arab. Ringkasnya, setiap daerah tidak
bisa bangun tanpa kultur yang terbawa sejak lama.[10]
Kita
bisa beralih pada terbangunnya peradaban Barat yang cenderung
humanis-antroposentris. Secara eksplisit mengungkapkan tentang keberpihakannya
terhadap kemanusiaan tapi menginjak-injak harkat martabat Agama, dimana diabad
pertengahan yang silam tepatnya saat kemunculan Rene Descartes menjadi corong
kemajuan peradaban barat (Renaisains). Namun demikian kenyatannya hak
asasi kemanusiaan yang terprogramkan secara linear sebatas menjelma retorika
usang yang layak disebut sebagai artefak kuno dengan tontonan menarik bukan
tuntunan yang baik.
Begitu
pula sebaliknya, peradaban Arab yang penuh dengan piranti keberagamaan
nampaknya terlalu bersikap fanatis dalam menafsirkan teks hingga melahirkan
suatu tindakan yang kurang berpihak pada asas kemanusiaan. Toh walaupun
pada hakikatnya akan tampak lebih baik bila kebaikan terbungkus oleh “kulit”
agama yang sakral. Logika dari pada hal
ini, bahwa tanpa adanya ajakan Agama sulit sekali untuk membentuk sebuah
komunitas yang terkonsolidasi dalam rangka menyongsong pada kepentingan
bersama. Bisa dipastikan cerai-berai akan segera terjadi jika berpangku pada
keinginan dari masing-masing individu.
Pesantren
ditengah usianya yang tua selalu berusaha mengetengahi persoalan secara baik
dengan menempatkan nilai kesalafannya. Salaf bukan berarti kolot melainkan
sebuah upaya untuk menunjukkan kemaslahatan bagi seluruh manusia. Saat ini
benturan peradaban seakan benar terjadi ( Samuel
Huntington). Memang, realitasnya Uni-Soviet yang mengusung misi komunis telah
runtuh tapi tidak menutup kemungkinan bagi paham lain untuk bersikeras dalam
menanggulangi benturan peradaban ini.[11]
Berkenaan
dengan pesantren di Indonesia muncul sebelum penjajahan Negara Kolonial. Berkat
keberadaan pesantren yang cukup banyak ternyata dapat menyokong bagi lepasnya
bangsa dari jeratan kapitalis-imperialis. Momentum demikian membuat masyarakat
terperangah-kagum. Al-hasil, pesantren menjadi tempat favorit untuk dijadikan
sebagai tempat belajar.[12] Wajar jika
kemudian ada sebuah indikasi bahwa pesantren turut andil dalam pembentukan
seperangkat dasar-dasar Pancasila. Tapi bagaimanapun juga alasannya pesantren
tetap harus berbeda dengan “luar masyarakat”. Semoga kaidah Al-muhafadhatu
ala qadimis shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah tetap dijadikan sebagai
pegangan.(*)
[1] Penulis adalah
siswa MA 1 Annuqayah Kelas XI IPS 1
[2] Lihat Dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi
Pesantren, hal.70.
[3]
Dr. Abu Yazid, MA, LL.M, “Membangun
Islam Tengah, Refleksi Dua Dekade Ma’had Ali Situbondo”, (Yogyakarta :
Pustaka Pesantren, 2002)hal.26.
[4] Telusuri ulang
, dalam pengantar editor “Menggerakkan Tradisi Esai Esai Pesantren”.
Baca Abdurrahman Wahid, “Menggerakkan Tradisi,Esai-Esai Pesantren ”
(Yogyakarta : LKiS, 2010)hal.Xii.
[5] Cek kembali
dalam buku, Harun Nasution, “Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa
perbandingan”
[6] Keterangan
lebih lanjut mengenai jalan dagang Timur-Barat ini dan pengaruhnya terhadap
Makkah, dapat di baca dalam Philip K. Hitti, “History of The Arabs”,
london, Mac Millan & Co. Ltd. 1964, bab IV-VII, Bernard Lewis, “The
Arabs In History,” New York, Harper & Row, 1960, bab I,passim and M.
Watt, “Mahomet a La Mecque ” terjemahan F. Douryeil, Paris, Payot, 1985
hal.21-42.
[7]Telisik
ulang, Marshall GS Hudgson, “ The Venture of Islam”, (Jakarta : Paramadina,2002)hal.99.
[8]
Secara umum berpaham sesuai dengan golongan Abu Hasan Al Asyari, syariat
bermazab kepada Madhazib Al Arba’ sementara tasawuf kepada Imam Al
Ghazali, baca Dr. H. Said Agiel Siradj, “Ahl Sunnah Wal Jamaah dalam
Lintasan Sejarah”, (LKPSM : Yogyakarta, 1997)hal.7.
[9]
Perintis awal NU adalah KH. Hasjim Asy’ari kemudian saat berada pada pimpinan
cucunya, KH.Abdurrahman Wachid terbelah menjadi partai politik yakni PKB.
[10]
Untuk lengkap lagi, baca, Abdurrahman Wahid, “Pesantren Sebagai Sub-Kultur” .ed.)“Menggerakkan
Tradisi Esai-Esai Pesantren” (LKiS : Yogyakarta, 2010)hal.7.
[11]
Islam dianggap sebagai solusi alternatif ditengah kacau-balaunya persoalan
peradaban. Islam sebagai lembaga keagamaan selalu berusaha mengetengahi secara
bijaksana. Baca, Prof. inu kencana Syafi’ei, “Pengantar Filsafat”
(Jakarta : UI Press,2011).hal.145
[12]
Baca kembali dalam buku, Dr.Abu Yazid,M.A,LL.M “Membangun Islam Tengah,
Refleksi dua dekade Ma’had Ali Situbondo” (Yogyakarta : Pustaka
Pesantren,2002)hal.145-147