Pages

Ads 468x60px

Senin, 18 Februari 2013

Meraba Denyut nadi Kehidupan


Meraba Denyut Nadi Kehidupan
Hidup dan kehidupan- merupakan dua term yang memiliki makna mengikat diantara yang satu dengan lainnya. Mustahil  akan ada hidup tanpa kehidupan, sebaliknya mustahal ada kehidupan tanpa tanpa ada hidup. Berawal dari manakah hidup ini, mulai kejadian hingga lengkapnya keindahan yang tiada terperi, akal kita barangkali belum menyentuh koridor pertanyaan filosofis tersebut. Kadang diantara kita melupakan pertanyaan yang belum mampu terjawab, yang itu terselip dilipatan kantong baju. Terkadang pula menganggap remeh temeh hidup yang diberikan oleh Tuhan.
Maka tatkala tiba titik jenuh menjalani getir-pahit hidup itu, baru kita menghidupkan pikiran untuk sejenak memikirkan arti hidup. Ada banyak penafsiran akan pengertian serta arti hidup itu sendiri, ada yang punya persepsi bahwa hidup hanya sekedar mengabdi dan menjalankan misi suci Tuhan. Ada pula yang berasumsi bahwa manusia di tuntut menikmati tiap detik dari tarikan napas, menikmati kelengkapan fasilitas alam yang super-lengkap secara eksploitatif.
Supaya lebih arif, mesti memasrahkan semua pengertian kepada tiap individu. Karena, mereka sendiri yang akan menikmati setiap apa yang dijalani. Cuma agak sedikit terhenyak jika menyaksikan banyak kaula santri yang menjalani hidup dengan sebatas hura-hura. Padahal masih ada banyak jalan yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati hidup yang lebih menunjang terhadap mutu diri. Ada yang nongkrong berbasa-basi tentang cewek dan segala tetek bengek yang jauh dari nilai kebermanfatan dalam jangka panjang.
Entahlah bagaimana filosofi hidup yang dipegang oleh mereka yang belum memiliki kesadaran utuh dalam menyikapi kehidupan yang ritmis. Setidaknya, ini adalah pengantar dari persoalan santri yang belum mampu di pecahkan secara berkesinambungan. Maka, lebih menarik jika menyikut ungkapan Plato_hidup yang tak terpikirkan adalah hidup yang tak pantas dijalani_mampukah seorang pe-nongkrong itu memikirkan hakikat hidup ? semua ada pada titik kesadaran logistik yang dapat mereka pergunakan secara linear.
Manusia hidup dan menjalani kehidupan tanpa ada negosiasi dengan Tuhan. Secara tiba-tiba kita hadir dengan seonggok tulang dibalut daging_yang kemudian dinamakan manusia. Wajar kita belum mampu menyerap sebuah enigma hidup yang membingungkan, bukankah tuhan menggariskan dalam kitabnya bahwa manusia adalah khalifah fil ard dan itu ada indikasi manusia di harapkan membawa bumi pada taraf yang lebih baik. Lalu dengan nongkrong tak bermamfaatkah kita bisa membawa dunia pada arah yang lebih baik ?
Setidaknya, kita mencari laku yang dapat menunjang potensi khalifah yang di warisi Allah seperti membaca, berorganisasi dan paguyuban yang lebih membawa manfaat dalam mengembangkan skill untuk menikmati laju hidup yang panjang. Tentu di setiap sekon kita dapat meraba denyut nadi kehidupan bahwa hidup kita tidak dijalani dengan hambar. Misal dengan menulis yang menuntut untuk peka membaca realitas kehidupan yang di rasa timpang. Semoga teman-teman dapat menjaga timbul-tenggelamnya semangat dalam mengarungi keras sekaligus nikmatnya hidup. (*)  

Moh Shiddiq
Kunjungi blog-nya di penyatujiwa96.blogspot.com dan penyaturasa.blogspot.com
    Tak usah muluk-muluk dalam merangkai beragam cita-cita, kita hanya memungkinkan untuk berpikir tentang kemungkinan dalam hidup yang  kita jalani. Mungkin dapat kita sebut sebagai keajaiban ketika akal letih melakukan upaya rasional untuk memuluskan keinginan menjulang.


                                                                          

Mempertegas Spirit Pluralisme Di Indonesia ; Menuju Masyarakat Civil Society
(ikhtiar Merumuskan Secara Aplikatif Pemimpin Ideal Masa Depan Indonesia )
Oleh : Moh Shiddiq*
Peristiwa kekerasan dan keberingasan secara perlahan menguasai diberbagai sektor kehidupan. Boleh dikata “tiada hari tanpa kekerasan”. Bahkan yang kita temukan diabad ke 21 ini adalah suatu kondisi dimana kekerasan dan keberingasan menyelinap juga kedalam kebijaksanaan institusi kemasyarakatan, termasuk yang memakai label agama. Ironisnya, kekerasan yang acap kali mengatas namakan agama telah menampakkan cirinya sebagai masyarakat modern.­­­­­­­­[1]
            Mengorek lika-liku perjalanan Indonesia tentu senantiasa tak lepas dari tragedi berdarah yang memakai label agama. Masih segar dalam ingatan bangsa terkait luka sejarah sejak tahun 1998 dan terakhir tatkala meletusnya bom Berkekuatan besar di Legian, Bali, maka lengkaplah penderitaan bangsa karena keberingasan menjadi sebuah “tradisi” yang melekat dalam memecahkan masalah di sekitarnya. Sementara akhir-akhir ini belum lama kita mendengar kisah memilukan pembantaian Jamaah Ahmadiyah di  Cikeusik, Banten, dan konflik pembangunan Gereja GKI Bogor dipenghujung 2011. Yang lebih memprihatinkan pengusiran dan pembakaran pesantren Syiah di Sampang , Madura.
            Meletusnya peristiwa-peristiwa tragis yang demikian alot sejatinya lebih dikarenakan konstruksi masyarakat plural. Selama ini Negara Indonesia masih menaungi beragam etnik , budaya. Bahkan agama (multi-religius). Pada aras ini kemajemukan mengandung bencana besar jika tidak dikelola secara baik. Akibatnya, bila keadaan ini terus dibiarkan dapat mengancam stabilitas Negara dan berpotensi meretakkan solidaritas sosial. Bilamana ditarik pada jejak sejarah diabad pertengahan silam, saat dikumandangkannya perang suci yang melibatkan umat Islam dan Kristen juga di sebabkan berbedanya platform yang diusung. Hingga berakibat jatuhnya beribu-ribu korban jiwa. Bahkan mempertegang hubungan antar keduanya.
            Doktrin Islam dalam bentuk arti yang sebenarnya acap kali mengaitkan konsep keesaan tuhan pada prinsip kesatuan ummat. Alquran beberapa kali mendengungkan bahwa “manusia adalah umat yang tunggal “.[2] walaupun pada tataran praktisnya selalu ada kecenderungan untuk menghancurkan perumahan kemanusiannya. Dengan demikian, agama yang sakral menjadi profan dan tak lagi berbanding lurus dengan pesan luhur yang dibawanya.[3] Namun tampaknya budaya baku-hantam merupakan peristiwa yang tak terpisahkan dari historisitas manusia itu sendiri dan ini inheren dengan struktur penciptaan manusia.
            Kendati begitu, Alquran senantiasa menghimbau bahwa perbedaan suku, ras, dan bahasa bukanlah suatu alasan untuk melegitimasi pertikaian melainkan suatu kesempatan untuk saling mengenal (lita’arafu), jika melaksanakan kompetisi, pelaksanaan ini untuk saling menebarkan panji-panji kebajikan (faastabiqul khairat) bukan menegakkan kebajikan dalam wadah yang beragam melalui langkah ekstrim dan radikal.
Sekilas Mengintip Perjalanan Rasulullah
Ditengah kegelapan arab jahiliah yang dipenuhi masyarakat amoral, tak beradab, dan mengalami “kegersangan spiritual” muncullah Muhammad sang pembawa kesejukan bagi masyarakat Arab (minadz dzulumaati ilan nuuri ) melalui ajaran sucinya (Islam) yang mengusung misi rahmatal lil alamiiin. Dalam proses islamisasi yang dilancarkan Nabi (Rasulullah) tiada cara satu pun melalui pemaksaan ideologi (la ikraaha fi diin), apalagi menghunus pedang untuk orang kafir yang menolak ajarannya, dalam rangka menyebar risalah kenabiaannya semuanya memakai pendekatan persuasif yang mengarah pada pola sikap lemah-lembut. Itulah sebabnya Islam pada masa Nabi terus menerus ada pada jalan lurus sebagai agama penebar rahmat (bukan laknat) bagi seluruh alam.
Dalam catatan sejarah Islam tatkala Rasulullah belum menyampaikan risalah kenabiannya (pra-Islam) posisi perempuan berada pada kolong subordinatif, setidaknya hal ini dapat dihadapkan pada satu kenyataan dimana perempuan dipandang hina, remeh, rendah, dan disepelekan. Hakikat diri perempuan dianggap tidak memenuhi kemanusiaan yang hakiki. Pada ranah ini, perempuan untuk menyuarakan aspirasi dalam ruang lingkup kehidupannya seringkali dibungkam oleh kaum laki-laki. Mereka tidak berhak mendapatkan harta warisan sebab, dalam peraturan dan tradisi yang kokoh kala itu bahwa harta warisan hanya pantas didapatkan laki-laki. Alasan yang mengemuka dikarenakan laki-laki mampu“mengayunkan senjata perang”. Bahkan lebih mengenaskan keberadaan tamu-tamu istimewa lebih dimuliakan dari pada dirinya.[4]
Hal lain yang tak jauh berbeda terdapat firman Allah dalam Quran Surat An-Nahl 58-59 yang subtansi pembahasannya merupakan miniatur dari realitas apatisme feminisme masyarakat Arab Jahiliah; perempuan dikubur  secara hidup-hidup tanpa berperasaan karena asumsi kesulitan mencari maisyah (penghidupan) pula untuk menghindari kemiskinan dan kefakiran berlebihan.[5] Mencermati secara sekilas dari penjabaran historis ini, perempuan memang dalam titik memperihatinkan sebelum kedatangan Islam di semenanjung daratan Arab.
Akan tetapi wawasan asimetris-feminis yang bercokol dalam masyarakat Nabi Muhammad secara perlahan dapat diruntuhkan secara menyeluruh melalui upaya penyadaran unit terkecil keluarga (quu anfusikum wa ahliikum naaara). Tentunya hal ini tak luput dari sentuhan halus “tangan” beliau.[6] Pada sumbu ini dipahami secara menyeluruh bahwa Rasulullah menghendaki kedamaian secara lestari dalam masyarakat majemuk tanpa kekerasan dan kekasaran.
Sejatinya, terbentuknya masyarakat civil society di Madinah adalah di tandai dengan munculnya Piagam Madinah dimana sendi-sendi kebijakannya berpangkalkan pada asas persamaan, pemerataan hak, baik yang berbeda ras, suku, gender, maupun Agama. Alhasil, tidak ada prasangka rasial dan yang berjenis Agama. Tepat pada masa itu Islam merengkuh masa keemasannya karena tak lepas dari terbangunnya harkat martabat kemanusiaan. Maka selanjutnya merembes pada tergeraknya peradaban Islam itu sendiri. Berangkat dari kekagumannya pengajar study sejarah Islam , Marshall GS Hudgson dari University of Chicago memantapkan pendapat bahwa Madinah merupakan Negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7]
Saatnya Memperkukuh Pluralisme
            Dalam konteks keindonesiaan pejuang pluralisme yang tetap layak diperhitungkan hingga detik ini adalah KH Abdurrahman Wahid walaupun jasad terkubur dengan tanah, Karena itu perlu adanya semangat rekonstruksi wawasan pluralisme ditengah kekisruhan umat beragama dalam rangka membangun kemanusiaan yang beradab sesuai dengan fakta sejarah di beberapa ratus tahun yang silam.
            Ada beberapa alasan yang mesti diakui akan pentingnya pluralisme agama di Indonesia terutama berkaitan langsung dengan didaulatnya Indonesia sebagai Negara yang bernaung di tubuh Pancasila. Nyaris tidak ada yang tahu dalam penggalan konseptual kebangsaan kita. Lebih-lebih dialog antara Islam dan kesadaran kebangsaan Indonesia bahwa sejak tahun 1919, tiga sepupu dengan intensif membicarakan tentang seperangkat ajaran Islam dengan nasionalisme Indonesia. Para pembincang ini adalah H.O.S. Tjokroaminoto, KH Hasjim Asy’ari, dan KH Wahab Chasbullah. Belakangan menantu H.O.S Tjokroaminoto yang berusia 18 tahun yakni Soekarno turut terlibat aktif di setiap pertemuan mingguan yang berlangsung sampai bertahun-tahun. Kesadaran kebangsaan inilah yang kemudian diwarisi kader-kader berikutnya seperti Abdul Wahid Hasjim (putra tokoh pendiri NU) KH. A Kahar Muzakkir dari Yogyakarta (tokoh Muhammadiyah), dan H. Ahmad Djoyo sugito (Tokoh Ahmadiyah).[8]
            Berbicara tentang sebab, bahwa latar perumusan serta pengkorelasian seperangkat puzzle Islam dengan Negara, (walaupun menjadi Negara republik, bukan Islam) tak lain disebabkan oleh prediksi kekalutan bangsa. Sebab,dalam catatan historis menampakkan akan pertikaian dan pembantaian darah kemanusiaan. Ini, tentu merujuk pada perjalanan sejarah Wahabi yang memasukkan kepentingan politik ke dalam Agama, hingga pada gilirannya menumpahkan beribu-ribu korban jiwa ; ambil missal, tragedi berdarah di Karbala, Jamaah Haji di Makkah. Namun begitu, Indonesia turut andil  dalam upaya mendamaikan pada Komite Hijaz di Makkah; sebuah perembukan perdamaian keprihatinan Indonesia atas pembantaian umat Islam oleh Wahabi. Hingga akhirnya umat muslim dunia aman dalam melaksanakan ritus keagamaan di Makkah.
Tindakan mulia leluhur bangsa itu, dalam rangka menuju kedamaian sejati seperti sakralitas seperangkat ajaran Rasul. Selain itu, pada prinsipnya tidak ada _baik secara verbal  maupun tidak_akan bangunan Negara Islam masa Nabi. Hal ini penulis sandarkan pada tesis Rasyid Ridha, seorang pembaharu modern bahwa, Negara madinah masa Nabi merupakan proses institusionalitas dalam upaya menuju Negara demokratis.
Dengan begitu, berarti Indonesia memegang teguh warisan leluhur bangsa. Terlebih lagi juga selalu mempertahankan ajaran moral Rasul di ruang gerak parlementer dalam rangka merangkai keabadian yang sejahtera ditengah panasnya pertikaian alot umat beragama, Karena berbagai peristiwa yang tersaji saat ini memungkinkan lebih kompleks permasalahannya di masa mendatang. Tanpa dipertegas lagi Indonesia tak pantas bernaung di keteduhan pancasila yang integral dengan corak kebangsaan yang majemuk.
Menyongsong periode pemilihan calon presiden baru 2014 segenap elemen bangsa semestinya selektif menyiasati kesempatan yang tinggal “dua jengkal” tahun lagi ini. Setidaknya dua belas varian bentuk kepemimpinan harus terpenuhi secara optimal.
§  Memiliki Jiwa Leadership
Pemaknaan secara harfiah dari kata leadership adalah mempunyai daya tamping yang tinggi dalam mengarahkan masyarakat pada arah kesepakatan bersama yang maslahah bil ummah. Ini tidak menutup kemungkinan bagi kiai untuk berkecimpung dalm dunia kepemimpinan (misalkan seperti Gus Dur) yang secara geneologis kharismatik.jika tidak, maka bisa memungkinkan orang-orang yang dekat dengan kiai__mendapatkan dukungan (semisal Mahfudz MD yang periode Gus Dur menjabat sebagai Menteri Pertahanan) dari berbagai pihak.
Pada waktu bersamaan berupaya menanamkan kesadaran kebangsaan Negara (NKRI), menjunjung asas demokratisasi. Secara sederhana mampu menyinkronkan kepentingan pribadi dengan kepentingan umum masyarakat Indonesia. Lebih mendesak lagi pemimpin yang mengedepankan kewajiban dan haknya dengan masyarakat ditengah hedonisme kaum elit.
§ Pengetahuan Yang Luas.
Terutama menyangkut ilmu di bidang yang sesuai dengan tugasnya, setidak-tidaknya berkesesuaian pendidikan dengan jabatan yang dipangkunya. Pengalaman dan keberanian juga mutlak dibutuhkan sebagai wahana efektif membumi hanguskan bentuk tindak elit yang tidak seirama dengan cita-cita luhur bangsa (Kolusi, Korupsi, dan Nepotisme).
§      Mengalami penempaan mental yang masak, karena apapun alasannya pengaruh tekanan mental memberikan efek luar biasa bagi jiwa kepemimpinan seseorang. Sejarah mencatat bahwa kepemimipinan Rasulullah , berlangsung bukan tanpa hambatan. Kekerasan mental tidak hanya beliau rasakan, melainkan kekerasan fisik, dihina, dicemooh, dan disakiti.[9]
§     Kemampuan analisis masalah.
§     Daya ingat yang kuat.
§      Kemahiran mengatur integrasi berbagai perpecahan, yakni mampu mempersatukan beragam spesialisasi menjadi kesatuan komando (Unity Of Command) yang dapat diarahkan pada pencapaian tujuan  bersama.
§     Kecakapan komunikatif, ramah terhadap semua “jenis kelamin”sosial, tak hanya menjunjung orang atas kan tetapi juga mampu mengayomi masyrakat akar rumput (Grass root)
§     Berkemauan mendengar saran dan koreksi dari orang lain.
§     Berpikir objektif serta rasional; kemudian peka terhadap lingkungan sekitar.
§     Bertindak tegas yang bernaluri memutuskan; apa yang mendesak dan prioritas , apa relevansinya, serta kapan harus bertindak.
§      Bersikap konsisten, berani melawan resiko dalam upaya mencapai tujuan bersama.
§     Rasa ingin tau besar dalam spesialisasi kenegaraan.
Dengan pemaparan cukup komprehensif diatas bahwa terdapat korelasi erat sejarah masa terdahulu (Nabi) berikut serta sejarah masa depan Indonesia. Tentunya, implisit makna spirit pluralisme Nabi Muhammad yang tertuang dalam norma-norma Pancasila. Dengan tetap berpegang teguh pada hukum Pancasila bukanlah suatu hal mustahil bagi Indonesia untuk merobohkan identitas bobrok bangsa dalam berbagai sisi, tak terkecuali di kursi parlementer maupun dalam biduk keberagamaan. Alhasil, gelar masyarakat civil society versi Indonesia patut disematkan.(*)


*penulis adalah siswa MA 1Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.





[1] Hal ini tercermin akan maraknya nasionalisme etnik yang memicu perang local umat beragama. Baca Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama” dalam Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , , (Yogyakarta : Jendela, 2003). Hal.2.
[2] QS Al Baqarah : 213, juga QS Yunus: 19
[3] Said Tuhuleley. Dkk (editor), Masa Depan Kemanusiaan , Syafi’I Maarif, “Manusia Dan Kemanusiaan Dalam perspektif Agama”, (Yogyakarta : Jendela, 2003). Halaman 02.

[4] Telisik ulang dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk, “Wanita-wanita Shalihah dalam Cahaya Kenabian”, (Yogyakarta : Mitara Pustaka, Juni 2002), halaman. 10-11.
6 Cek lagi di dalam, Mahmud Mahdi Al-Istambuli dkk . ibid…….. hal 14-15
[6] Proses pembumi hangusan segala bentuk prasangka negative terhadap perempuan dirajut dalam bentuk ikatan suci beliau dengan Siti Khadijah. Mahmud Mahdi Al Istambuli, dkk “Wanita-Wanita Shalihah Dalam Cahaya Nabi” . ibid hal 18-19
[7] Telusuri kembali dalam Marshall GS Hudgson, The Venture Of Islam, (Jakarta : Paramadina, 2002)hal 99.
[8] Cek lagi KH Abdurrahman Wahid (ed,) ilusi Negara Islam Ekspansi Gerakan Islam Transnasional Di Indsonesia.KH. Abdurrahman Wahid “Musuh Dalam Selimut (Jakarta : The Wahid Institute, 2009)hal 15.
[9] Telisik ulang, Nourouzzaman Shiddiqi, “Jeram-Jeram Peradaban Muslim” cetakan 1(Yogyakarta : pustaka Pelajar, 1996 ). Hal 101.

Minggu, 03 Februari 2013


Pendidikan dan keterbatasan Finansial Kelurga
Oleh : Moh Shiddiq
Saya adalah seorang anak yang dilahirkan dari rahim orang tak berpunya. Semua keinginan tidak akan mungkin secara langsung terpenuhi tanpa ada usaha nyata dari diri sendiri. Sejak kecil saya memang menuruti kemauan orang tua tercinta. Selepas dari pendidikan dasar saya belajar di Pondok Pesantren Annuqayah Lubangsa Selatan. Segala sesuatunya ditempuh dengan ketabahan dan kesabaran hingga menginjak tahun yang keenam ini saya berkeinginan untuk keluar dari pendidikan pesantren. Hasrat yang justru menggebu adalah ingin mengenyam pendidikan negeri yang lebih berkualitas.
Menyongsong pendidikan sejak SMP dipesantren agaknya memang sedikit terlunta-lunta sebab saya tipikal orang yang nakal sekolah. Bahkan sekalipun saya mengenyam pendidikan setingkat SMA pun agaknya penyakit lama masih terus menerus kambuh. Wajar saat perekrutan siswa untuk mendapat beasiswa saya tidak terpilih diantaranya lima belas siswa dikelas.
Saya sempat agak kecewa karena saya tak terpilih sebagai siswa yang berhak mendapat bantuan beasiswa. Mau tidak mau, jika tidak berprestasi secara akademik maka bisa lewat jalur non-akademik dengan capian prestasi diluar kelas. Seperti juara dalam event Karya tulis ilmiah. Syukur, saya sejak Mts bergelut dengan dunia menulis dan sekarang saya dapat mengandalkan kemampuan  dalam hal tulis-menulis. Kendatipun juga belum tentu saya bisa menerima bidik misi dikampus yang saya minati.
Pada tanggal 3 februari ini menurut keterangan dari sekolah penyetoran berkas untuk siswa yang ingin daftar di jalur non-akademik akan segera ditutup. Sementara itu sebuah kegelisahan masih saja bergelayut dibenak ini. Sebab, sertifikat itu masih ada dirumah. Maka, saya mengejar usaha  dengan pulang kerumah meskipun hujan besar yang tak kepalang. Sampai dirumah saya dimarahi lagi karena dianggap mendadak padahal sebentar lagi saya akan diantarkan berkas-berkas yang dibutuhkan. Sebelumnya saya memang menginformasikan kepada kakak bahwa untuk mendaftar beasiswa ini  musti mengirimkan sertifikat hasil dari prestasi diluar formal itu. Saya mohon maaf kepada kakak karena saya lebih mendahului karena saya merasa berkas itu akan diantar besok pagi. Sementara akhir penyetoran itu nanti malam. Bukankah lebih baik ditindak lanjuti…mungkin yang membuat kakak miris sebab uang ojek yang terlalu mahal. Pada saat yang sama musim saat pancaroba, masa-masa sulit bagi seorang petani. Bayangkan, PP(pulang-pergi) dari pondok kerumah dikena ongkos 40,000. sebenarnya saya memilih ojek karena musim hujan sulit mendapat taksi. Jadi maafkanlah anakmu yang ceroboh ini.
Semoga Allah memberikan yang terbaik untuk hambanya yang inigin menempuh ke jenjang pendidikan yang lebih tinggi ini. Meskipun saya tak ditakdirkan mendapat beasiswa bidik misi saya akan mencari beasiswa lainnya. Tapi, harapan terbesarku tiada lain lulus UAN dan bidik misi sekaligus. Semoga tuhan mengabukan hajatku yang mulia ini.

Sabtu, 02 Februari 2013


Menimbang Ideologi Paradoks Islam Liberal
Oleh : Moh shiddiq(*)[1]
Judul Buku       : Islam Liberal, sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya
Penulis              : Adian Husaini, Nuim Hidayat
Penerbit           : Gema Insani Press, Jakarta
Tahun Terbit    : Juni, 2002
Tebal                : 252 + x

Neo- Liberalisme dan neo-revivalis Islam merupakan dua term yang seringkali bentrok diwilayah internal Islam. Jika mengamati secara jeli akan platform ideologis yang diusung, jelas sulit menentukan vonis benar-salah diantara keduanya. Sebab, pondasi pemikiran yang dibangun cukup kuat serta beralasan. Kendatipun pada akhirnya menggiring pada timpangnya pemikiran yang dibawa oleh kalangan Islam liberal itu sendiri.
Buku yang berjudul “Islam liberal , Sejarah, konsepsi, penyimpangan dan jawabannya ” ini setidakmya mampu meringkus sebuah persoalan yang sedang mengkangkangi masyarakat Islam beserta pula jawaban-jawaban logis dan sistematis. Lebih dari itu mengupas tuntas terkait dengan kerancuan pemikiran Islam liberal yang sedang naik daun dengan gaya pikir bebas dan kontekstual  yang menurut mereka dianggap sebagai kebenaran.
Bagi penulis, garis besar yang mesti dibicarakan ulang adalah pengembangan teologi inklusif-pluralis yang menggiring pada pencampur-adukan aqidah dan ujung-ujungnya akan merembet pada kemusyrikan. Sepak terjang Liberalisme muncul dan populer sejak Maret 2001 lalu, kelompok ini menamakan diri sebagai JIL (Jaringan Islam Liberal). Sementara tokoh yang dijadikan sebagai anutan tiada lain Nurcholish Madjid yang saat itu meluncurkan gagasan sekularisasi dan ide-ide teologi inklusif-pluralis. Pada saat yang sama juga meng-aktif-kan diskusi maya (milis), tergabung dalam islamliberal@yahoogroups.com (hal. 4)
Adian Husaini yang menyelesaikan pendidikan terakhir diprogram Pascasarjana Hubungan Internasional ini memang cukup memahami persoalan secara komprehensif, tidak setengah-setengah. Lebih-lebih jika ada hubungannya dengan sepak terjang Liberalisme di indonesia yang kerap kali menghalangi soal pemberlakuan dan mengebiri  Syariat Islam. Menurut mereka (kaum Liberal) jika syariat Islam diberlakukan secara formal di Indonesia akan terjadi gesekan-gesekan antar ummat beragama, sebab Indonesia adalah negara multi-kultural dan multi-regius pula. Maka bagi kalangan Liberal lebih sreg dengan sistem negara sekuler layaknya Barat yang peradabannya dianggap unggul. Mau tidak mau, Islam untuk menjadi komunitas yang maju mesti meniru gaya barat.
Justru dalam buku ini penulis menyanggah itu hanya alasan yang dibuat-buat, bukankah hukum terbaik adalah hukum Allah ? bahkan dalam Alquran sendiri menyatakan jika suatu negara tidak menerapkan hukum yang diturunkan Allah, maka negara tersebut adalah negara kafir, murtad, dan munafik. Bahkan pada dasarnya nabi Isa (Yesus Kristus) dalam Perjanjian lama menyatakan,”janganlah kamu menyangka bahwa aku datang untuk meniadakan hukum taurat atau para kitab Nabi. Aku datang bukan untuk meniadakannya, melainkan untuk menggenapinya. Karena aku berkata kepadamu bahwa sesunguhnya selama belum lenyap langit dan bumi ini , satu iota atau satu titik pun tidak akan ditiadakan dari hukum taurat, sebelum semuanya terjadi. Karena itu, siapa yang meniadakan salah satu perintah hukum taurat sekalipun yang paling kecil, dan mengajarkannya demikian kepada orang lain, ia akan menempati tempat yang paling rendah di kerajaan surga. Tetapi, siapa yang melakukan dan mengajarkan segala perintah hukum taurat, ia akan menduduki tempat yang tinggi dikerajaan surga.”(matius 5: 17-19)hal. 157.
Maka, pada titik selanjutnya, Kitab taurat sendiri juga mengajak para pengikut ajarannya untuk mengamalkan hukum yang Tuhan dalam berbagi dimensi kehidupan. Wajar apabila pemberlakuan syariat juga bisa mengajak memberlakukan hukum agama tiap masing-masing Agama. Lagi, paling fundamental buku ini menyinggung akan upaya penghancuran Islam Militan didunia muslim. Sejak era 1990-an sejak runtuhnya komunisme, para politisi Amerika mengalami penyakit islamophobia. Islam selalu menjadi ancaman bagi keamanan mereka. Karena Islam disini dianggap anti-demokrasi yang berseberangan dengan misi Barat. Sebab itulah proganda Amerika sering mengkambing-hitamkan islam sebagai Agama teroris. Menariknya ini ide Amerika mirip seperti yang diusung oleh Islam Liberal. Alhasil, Adian Husaini berasumsi bahwa Islam liberal merupakan perpanjangan tangan dari kepentingan Amerika dan kawan-kawannya untuk menghancurkan Islam dari dalam.
Dalam pada itu ada banyak kerancuan yang dilakukan oleh Jaringan Islam Liberal, bantahan ini ditujukan terhadap buku kurzman_termasuk kontributor berpengaruh dari luar negeri yang aktif di JIL_ buku Kurzman ini adalah bunga rampai yang ditulis dari seluruh muslim dunia. Namun kerancuan ini terletak pada pengakuan bahwa Yusuf Al-Qardhawi adalah jajaran tokoh liberal. Padahal bila menjelajahi secara total akan karya Al-Qardawi lebih banyak mengkritik Barat dan anti-Barat seperti yang tercermin dalam karyanya Min Fiqh ad-Daulah fil-Islam ( Fiqih Negara,1997). Bahkan yang membuat sosok Adian Husaini terhenyak adalah anggapan bahwa Muhammad Natsir adalah Islam liberal. Hipotesa demikian menjadi sebuah bukti akan keteledoran dari pada gerakan Islam Liberal.
Buku ini layaknya sebuah endapan kilauan mutiara dengan gagasan yang kaya. Hal demikian dapat dimaklumi karena Adian Husaini juga cukup lama malang-melintang didunia kajian keislaman. Kaya gagasan yang dimaksud disini seperti menghadirkan tokoh-tokoh kontra terhadap kebiijakan Amerika yang cenderung diskriminatif terhadap Islam dengan melakukan ekspansi militer dengan dalih menghentikan laju militansi Islam yang mengancam perdamaian dunia. Tokoh disini semisal John L Esposito yang mengkritik keras gaya koboi Amerika soal kasus FIS di Aljazair. Pada ranah ini ketika Barat melakukan tindakan keras terhadap Aljazair pada hakikatnya mengkhianati akan  subtansi demokrasi yang konon dilahirkan Barat.(hal. 202)
Namun kemusykilan yang terjadi adalah Adian Husaini tidak mampu mengetengahkan persoalan secara bijak. Konsekuensi logisnya adalah cenderung membela Islam berhaluan garis keras. Secara tidak langsung bisa ditafsir melegalisasi kekerasan yang berlabelkan Agama. Padahal jika melakukan kajian historis yang cukup mendalam_seperti yang katakan Prof. Dr Quraisy Syihab_ bahwa akar sejarah kelahiran Indonesia sebagai Negara jelas memiliki guratan sejarah tersendiri yang jauh dari label kekerasan. Namun begitu, disini tidak bermaksud menghakimi bahwa akar sejarah peradaban Arab hadir dengan tradisi kekerasan.
Dalam suhu perpolitikan internasional  tampaknya belum ada goncangan-goncangan yang dapat mengancam stabilitas Indonesia. Hal tersebut lebih dikarenakan Indonesia adalah negara non-blok yang tidak berat sebelah dalam membela kepentingan Amerika yang arogan. Tentu, tak seperti Negara Timur Tengah dengan semangat revolusi Daulah Islamiah yang mengancam posisi Amerika sebagai polisi dunia. Kendatipun pada arah perkembangannya propaganda Amerika tentang terorisme baru-baru ini mulai terdengar riuh di Indonesia. Terlebih pesantren diklaim sebagai sarang teroris.
Secara fisik untuk sekedar dijadikan sebagai bahan bacaan dan memperluas wawasan tentang pembelaan apologetic Islam militant buku ini amat penting dibaca. Toh demikian barangkali hanya dijadikan baha renungan serta pertimbangan dengan membaca keseluruhan karya dari pihak liberal dan militan itu sendiri. Tidak bisa secara serta merta kita menyimpulkan , apalagi menganggap final terhadap bahan bacaan yang pernah kita baca. (*)


[1] Siswa kelas Akhir, mengambil prodi IPS, saat ini menetap di PP. Annuqayah Lubangsa Selatan