Pages

Ads 468x60px

Sabtu, 20 April 2013

Bruno Mars



Pemuda Dan Restorasi Politik Indonesia
(Membangkitkan Spirit Nasionalisme Pemuda Dalam Lintasan Sejarah)
Oleh : Moh Shiddiq
Perbincangan seputar politik memang tidak akan pernah ada habisnya. Politik memiliki daya tarik tersendiri dengan eksistensinya yang unik. Terlebih, bila dikaitkan dengan pemuda. Dalam lintasan perjalanan yang panjang, berdirinya Indonesia sebagai negara, bahkan pada masa kerajaan, tidak lepas dari pergulatan sejarah yang mereka lalui dengan “berdarah-darah”.
Kejayaan Majapahit tidak bisa menghitung jasa Hayam wuruk yang kala itu berusia 17 tahun. Suksesi kepemimpinan juga didukung oleh panglima perang kerajaan yaitu Mahapati Gajah Mada yang masih berusia muda. Darah muda yang mengalir di tubuh mereka mampu mengangkat kredibilitas kerajaan dan membawa pada taraf kemajuan. Terbukti, dengan munculnya sumpah palapa yang berisikan usaha menyatukan perpecahan di kawasan nusantara.
Sementara itu, pada hari minggu 20 Mei 1908 mulai tumbuh benih-benih kebangkitan bangsa yang kelak bernama Budi Utomo ; didalamnya adalah perkumpulan pemuda idealis yang memperjuangkan serta peduli terhadap nasib bangsa yang berada dalam jajahan Belanda. Mereka adalah keturunan bangsawan, bersekolah di kedokteran STOVIA Jakarta. Meskipun keturunan bangsawan yang diayomi oleh Belanda, mereka (pemuda,red) menyadari watak politik penghisapan yang dilancarkan Belanda itu sendiri.
Tidak cukup hanya itu, lepasnya Indonesia dari cengkraman imperialisme hingga dikumandangkannya kemerdekaan, tercatat sejak pembacaan proklamasi, lagi-lagi peran pemuda “merongrong” hegemoni tiranisme. Dalam hal ini, gerakan revolusi dibekingi oleh Soekarno, Hatta, dan sjahrir. Di lain pihak, politik tangan besi yang dipraktekkan rezim orde baru, mampu ditumpas habis oleh pergerakan mahasiswa  pada tahun 1998.   
Pada aras ini, pemuda merupakan manifesto heroik bagi kemajuan bangsa. Spirit pemuda mampu meluluh-lantakan tatanan yang sudah mapan. Wajar jika Agen of Change pantas disematkan pada pribadi pemuda. Tak ayal, Aziz Syamsuddin mengemukakan bahwa pemuda merupakan aset paling berharga dalam hidup berbangsa dan bernegara. Sebab,Kebangkitan dan kehancuran suatu bangsa bergantung pada pemudanya sendiri. Ketika suatu bangsa mengalami stagnasi kepemimpinan, maka pemuda menjadi harapan untuk menghancurkan kejumudan menuju arah perbaikan.
Sehingga tidak terlalu berlebihan kiranya jika Ben Anderson, Indonesianis terkemuka menyatakan bahwa bangsa Indonesia banyak berhutang kepada para pemudanya dan sejarah Indonesia adalah para pemuda.
Mengimpikan Peran Pemuda
            Menyadari carut marut panggung politik yang ditunggangi oleh oknum tak bertanggung jawab , peran pemuda sangat diharapkan mengisi setiap lini kepemerintahan. Sejatinya, politik tidak memandang usia muda maupun tua. Tatkala yang tua berpolitik dengan sifat kekanak-kanakan, yang muda diharapkan menujukkan elektabilitas serta akuntabilitas nilai politik, tidak mustahil jika kemudian politik kekanak-kanakan menjadi lebih dewasa.
            Tentu masih segar dalam ingatan kita, Presiden  Soekarno berujar “berikan aku sepuluh pemuda maka akan ku goncangkan dunia ”. dalam baris kalimat ini betapa pemuda membutuhkan peran dan motivasi guna mendukung hakikat kepemudaannya yang penuh gejolak. Karenanya, disini perlu adanya pembinaan secara berkesinambungan supaya menghasilkan bibit yang bisa diandalkan menuju masa depan perpolitikan Indonesia.
            Dekade ini,masyarakat mulai menaruh espektasi besar tehadap pemuda. Terbukti, sosok- sosok pemuda menjadi pemimpin di Jawa Barat (Aziz Syamsuddin, pemuda penggerak bangsa,). Sama halnya dengan di Madura, Bupati Makmun Ibnu Fuad sebagai Bupati Bangkalan memecahkan rekor sebagai pemimpin termuda diusia 29 tahun. Bahkan, sosok Joko widodo masuk kategori pemimpin muda gubernur DKI Jakarta.
            Secara hukum, Indonesia sebagai negara yang menganut paham demokrasi, Undang Undang Dasar Negara Republik Indonesia tahun 1945 menjamin kemerdekaan setiap warga negara untuk berserikat, berkumpul, dan mengeluarkan pendapat sebagai bagian dari hak asasi manusia serta dalam rangka mewujudkan kehidupan kebangsaan yang kuat.
            Pengejawantahan hak-hak politik adalah setiap warga negara berhak membentuk, memelihara, dan mengembangkan hak-hak politiknya dengan organisasi sosial dan gerakan politik sebagai pilar demokrasi. Melalui organisasi sosial dan politik pemuda dapat mewujudkan haknya menyatakan masa depan berbangsa dn bernegara.
            Nah,setidaknya keikutsertaan pemuda dalam lembaga sosial atau politik dapat dijadikan sebagai wahana menempa jiwa kepemimpinannya. Misal, mengamati kenyataan pahit yang dialami oleh masyarakat kecil. Dengan mendekati masyarakat kecil juga untuk menempa emosi, supaya ketika memiliki kekuasaan menjauhi tindakan semena-mena yang merugikan pihak rakyat kecil.
Kurikulum Nasionalisme
            Secara definitif, nasionalisme dapat diartikan keteguhan jiwa memperjuangkan kepentingan bangsa. Mereka yang bekerja demi keagungan dan kedaulatan bangsa berarti berada digaris nasionalisme. Mereka mengabdi tanpa mengenal ruang dan waktu.
            Nasionalisme ibarat nyawa bagi sebuah bangsa. Apabila mulai luntur kesadaran nasionalisme maka ada indikasi akan hancurnya tatanan kebangsaan. Mengikisnya nasionalisme tercermin dari sikap apatisme aparat pemerintah terhadap kepentingan rakyat. Sebut saja, membudayakan perilaku koruptif. Ini merupakan miniatur pupusnya rasa nasionalisme dari hati penguasa.
            Dalam pada itu, Soekarno mengingatkan bahwa bangsa yang besar adalah bangsa yang mengingat pendahulunya. Mengingat serta mengenang masa dahulu merupakan langkah strategis untuk menguatkan semangat patriotisme. Lebih dari itu, memompa keadaan batin untuk memperjuangkan cita-cita kebangsaan.
            Oleh sebab itu, penting bagi partai politik untuk selektif dalam menerima konstituen dan anggota. Lebih penting dari itu kurikulum nasionalisme seharusnya menjadi materi pembelajaran wajib bagi partai politik untuk dijadikan acuan praktis. Jika memang begitu, bukanlah suatu hal yang mustahil partai politik yang kehilangan pamor karena basah kuyup dengan kasus korupsi untuk memperbaiki lembaga secara pelan-pelan. Kaderisasi pemuda melalui materi nasionalisme barangkali dapat membukakan diri untuk bangkit dari keterpurukan bangsa yang dihinggapi penyakit akut. Tentu pula, merasa perlu bagi gerakan-gerakan kepemudaan seperti GPI (Gerakan Pemuda Islam) dan gerakan Anshor memberikan asupan materi kesadaran nasionalisme.Sebab itulah, pemuda akan memiliki peran yang signifikan dalam pembangunan dan pembaharuan politik secara revolutif-anarkis.[]     

Rabu, 06 Maret 2013

spirit keaswajaan


MENGUKUHKAN SPIRIT KEASWAJAAN DI PESANTREN ; REFLEKSI ATAS KHITAH YANG MEMUDAR
(Upaya Mengambil Jalan Bijaksana)
Oleh : Moh Shiddiq*)[1]
Pendahuluan
Pesantren merupakan objek kajian paling menarik terkait dengan keberadaannya yang tetap survive hingga saat ini. Sebab, kenyataan yang ada pesantren menua dan berumur ringkih. Itulah sebabnya, pesantren tetap menjadi perhatian dominan dibanding dengan kajian lainnya. Langkah awal yang lazim diketahui bahwa pesantren adalah lembaga tertua yang menjadi cikal-bakal lahirnya sistem pendidikan variatif lainnya di Indonesia. Kendatipun pada prinsipnya tidak mampu banyak referensi mengungkap terkait awal kemunculan pesantren. Tetapi nyaris dipastikan bahwa Pondok pesantren lahir seiring penyebaran yang dilakukan oleh Wali Songo. Khususnya di pulau Jawa. Karena itu tidak heran tatkala kemudian disebutkan bahwa perintis utama Pesantren adalah Syeikh Maulana Maghribi (W 822 H/ 1439 M ) yang merupakan orang pertama kali menyebarkan Agama Islam sebelum kedatangan Wali yang Sembilan.[2]
Fase awal, pesantren dibentuk sebagai lembaga non-formal dengan memusatkan pembelajaran dan aktivitasnya di Surau, Masjid atau Asrama Santri. Pada umumnya materi yang dikaji berkisar pada Ilmu Keagaamaan. Seperti Tauhid, Aqidah, dan Tasawuf . Sedangkan kitab yang dijadikan pegangan merupakan kitab-kitab yang dikarang  pada abad pertengahan oleh para Salafuna as Shalih.lantaran struktur kurikulumnya terlihat mengacu pada tataran praktis yang kuno. Maka, pesantren diklaim sebagai lembaga konservatif.[3]
Sebagaimana yang telah dikatakan oleh Abdurrahman Wahid (Gus Dur) bahwa pesantren merupakan sub-kultur masyarakat yang berada “diluar” masyarakat. Bahasa lain dari pada hal tersebut bahwa pesantren sebenarnya senantiasa berbeda dengan luar masyarakat yang sering kali tidak ”mengindahkan” ketertiban ala pesantren. Praktisnya, kemudian mengukuhkan suatu ungkapan bahwa tidak sekadar mementingkan transfer pengetahuan.(Transfer of Knowledge) Melainkan, tidak kalah penting melaksanakan transformasi tata nilai ke dalam lubuk hati para santri.(Transfer of Value)
Era orde baru, dimana pembangunan digalakkan merupakan momok menakutkan bagi keberlangsungan pendidikan di pesantren. Bukan karena tidak sinkron antar keduanya. Segala sesuatu yang ada memang saling berkait-kelindan. Namun titik pijak yang harus diperhatikan ulang bahwa pesantren mesti selalu memangku tradisi ke”salafannya” yang  dalam kurun ini  perlahan memudar. Bahkan terancam punah. Walaupun Harus diakui secara seksama bahwa dalam teori kecenderungan, sesuatu yang terlihat baru seringkali men”gerlingkan” perhatian. Hingga harus senantiasa waspada menjalaninya.[4]
Menguak Sejarah Aswaja (Ahl Sunnah Wal Jama’ah)
            Perbincangan mengenai Ahl Sunnah Wal Jamaah bisa dipastikan terlalu tabu. Namun meskipun demikian, masih menarik untuk dibicarakan ulang. Hal ini lebih dikarenakan Ahl Sunnah Wal Jamaah menjadi sebuah moderasi pemikiran (Tawasshuth) ditengah kerancuan berpikir yang saling menjegal dan menyempitkan kebenaran hanya terbatas pada dirinya. Tentu ini berkenaaan dengan pemikiran keislaman yang oleh John L Esposito memiliki corak pemikiran yang kompleks dan kaya.
            Sejak masa Rasulullah SAW persoalan teologi menjadi perdebatan alot hingga pada gilirannya menjadi cikal-bakal lahirnya beragam firqah yang menandaskan kebenaran hanya untuk dirinya. Lebih dari itu premis yang harus ditegaskan bahwa pecahnya tubuh Islam yang pada tahap perkembangannya bercerai-berai dengan kepentingan masing-masing bukan sebab tendensi politik. Supaya mengetahui lebih dalam kita mesti mengembalikan kepada sejarah yang pertama.                                              
            Saat Nabi (Muhammad) mulai menyiarkan seperangkat ajaran-ajaran Islam yang telah beliau terima di Makkah, kota yang awal kali pertama  tempat diturunkannya wahyu ini berada di bawah sistem kepemimpinan masyarakat Quraisy yang notabene keluarga besar Nabi. Hal demikan terjadi sebab di abad ke dua dari abad enam masehi, jalur perdagangan Timur-Barat berpindah dari teluk Persia-Euphrat di utara dan laut merah perlembahan Neil di selatan, ke Yaman_Hijaz _Syiria. Peperangan berkepanjangan yang terjadi antara Kerajaan Persia dengan Kerajaan Byzantium di jalur utara menjadikan suasana tidak kondusif. Mesir yang berada dalam kekacauan sebab berdagang lewat utara kemudian tidak menguntungkan dalam meningkatkan taraf perekonomiannya.[5]
Berpindahnya jalur perdagangan Timur-Barat ke semenanjung Arabia di Makkah maka pada akhirnya kota dagang ini menjadi kota kaya. Hal inilah sebenarnya yang dimaksud dengan ayat rihlatas syitaai wa shaif dalam surah Quraisy. Dari arah perdagangan yang sangat maju berimplikasi terhadap terambil-alihnya kekuasaan pada tangan orang kaya dari suku Quraisy.[6]
Saat masyarakat Makkah dalam keadaan berleha-leha dengan harta yang berlimpah. Justru Nabi Muhammad dalam keadaan genting sebab kemiskinan yang diderita.sebab itulah setelah ditinggal oleh bapak ibunya menjadi seorang anak pengembala domba. Pada bagian lain ada sebuah masyarakat terpencil yakni di Madinah yang membutuhkan seorang pemimpin, persengketaan keduanya diwarnai oleh suku Aus dan Khazraj dalam  menentukan pemimpin.Tepat saat masyarakat Madinah menunaikan ibadah Haji di Makkah Nabi muhammad  dielu-elukan. Tak ayal bila beliau  hijrah dari Makkah ke Yastrib. Setelah sampai pada masyarakat Madinah beliau bukan hanya menjadi teolog melainkan politikus ulung hingga  Madinah menjadi masyarakat madani sesuai dengan ajaran luhur Islam. Tak berlebihan kiranya bila Marshall GS Hudgson menyatakan bahwa Madinah adalah negara modern pertama dalam sejarah peradaban dunia.[7]
Singkat kata, bahwa pada dasarnya aras pertama kali muncul tak lain teologi yang disusul politik praktis. Pada perkembangan selanjutnya karena wafatnya Nabi terjadilah perpecahan untuk mengganti siapa calon yang pantas mengganti kedudukannya sebagai pemimpin Arab kala itu. Praktisnya, masa khalifah Abu Bakar Shiddiq dan Umar bin Khattab adalah masa kepemerintahan cukup aman. Tapi berlanjut pada periode Usman bin Affan dan Ali bin Abi Thalib memasuki masa genting. Bahkan pada saat itulah meruncing sebuah perbedaan dengan munculnya Syiah, Khawarij, Murjiah, Qadariah, Jabariah, kaum Mu’tazilah dan akhirnya Ahlus Sunnah wal Jamaah sebagai penengah dalam kemelut berkepanjangan.
Dalam hal ini secara linguistik Ahlus Sunnah Wal Jamaah dapat ditelusuri bahwa kata Ahl, menurut Fairuzzabadi dapat diartikan pemeluk aliran atau pengikut madzhab (Ashab al Madzhab) jika dikaitkan dengan aliran atau madzhab. Sedangkan Al Sunnah adalah  jalan  para sahabat Nabi dan Tabiin. Sementara al jamaah adalah sekumpulan orang yang memiliki tujuan. Secara prinsip yang mesti dibedakan bahwa term Ahlus Sunnah Wal Jamaah merupakan kata integral. Sebab terkadang ada sebuah lembaga yang mengatas-namakan Ahl Sunnah saja, yang biasanya berwatak fundamental dan terlalu saklek dalam memahami teks (Literal). Tak jarang pula ditemukan terlalu gila terhadap konteks hingga kelihatan memperkosa teks (Liberal).[8]
Dalam lensa keindonesiaan organisasi masyarakat yang berorientasi pada pengukuhan Ahl Sunnah Wal Jamaah adalah NU.[9] Namun tampaknya dilihat secara obyektif seakan-akan seperti yang disebut Said Agiel Siradj cenderung menjadikan paham sebagai piranti formalitas. Karena itulah kemudian Aswaja harus senantiasa dijadikan sebagai Manhaj Fikr. Bahkan lebih penting dari itu disulap menjadi Manhaj Harakah dalam rangka turut andil dalam memecahkan problematika sosial.
Harapan Terhadap Pesantren
Sejarah pesantren sebenarnya kurang begitu puas dibicarakan hingga Gus Dur mengkhawatirkan pesantren terbuang dari akar masyarakat desa. Memasuki abad yang berlari_ seperti yang dikatakan oleh Afrizal Malna, setidaknya menjadi suatu ancaman tersendiri bagi kredibilitas pesantren bahkan masyarakat yang berada diluar pesantren . Bukan bermaksud untuk mengatakan bahwa pesantren adalah tempat istimewa tapi mempertimbangkan secara jernih merupakan harga mati untuk memahaminya. Gus Dur kerap-kali menggaungkan bahwa Indonesia memiliki kultur sendiri yang amat berbeda dengan Arab. Ringkasnya, setiap daerah tidak bisa bangun tanpa kultur yang terbawa sejak lama.[10] 
Kita bisa beralih pada terbangunnya peradaban Barat yang cenderung humanis-antroposentris. Secara eksplisit mengungkapkan tentang keberpihakannya terhadap kemanusiaan tapi menginjak-injak harkat martabat Agama, dimana diabad pertengahan yang silam tepatnya saat kemunculan Rene Descartes menjadi corong kemajuan peradaban barat (Renaisains). Namun demikian kenyatannya hak asasi kemanusiaan yang terprogramkan secara linear sebatas menjelma retorika usang yang layak disebut sebagai artefak kuno dengan tontonan menarik bukan tuntunan yang baik.
Begitu pula sebaliknya, peradaban Arab yang penuh dengan piranti keberagamaan nampaknya terlalu bersikap fanatis dalam menafsirkan teks hingga melahirkan suatu tindakan yang kurang berpihak pada asas kemanusiaan. Toh walaupun pada hakikatnya akan tampak lebih baik bila kebaikan terbungkus oleh “kulit” agama yang  sakral. Logika dari pada hal ini, bahwa tanpa adanya ajakan Agama sulit sekali untuk membentuk sebuah komunitas yang terkonsolidasi dalam rangka menyongsong pada kepentingan bersama. Bisa dipastikan cerai-berai akan segera terjadi jika berpangku pada keinginan dari masing-masing individu.
Pesantren ditengah usianya yang tua selalu berusaha mengetengahi persoalan secara baik dengan menempatkan nilai kesalafannya. Salaf bukan berarti kolot melainkan sebuah upaya untuk menunjukkan kemaslahatan bagi seluruh manusia. Saat ini benturan peradaban seakan benar terjadi (        Samuel Huntington). Memang, realitasnya Uni-Soviet yang mengusung misi komunis telah runtuh tapi tidak menutup kemungkinan bagi paham lain untuk bersikeras dalam menanggulangi benturan peradaban ini.[11]
Berkenaan dengan pesantren di Indonesia muncul sebelum penjajahan Negara Kolonial. Berkat keberadaan pesantren yang cukup banyak ternyata dapat menyokong bagi lepasnya bangsa dari jeratan kapitalis-imperialis. Momentum demikian membuat masyarakat terperangah-kagum. Al-hasil, pesantren menjadi tempat favorit untuk dijadikan sebagai tempat belajar.[12] Wajar jika kemudian ada sebuah indikasi bahwa pesantren turut andil dalam pembentukan seperangkat dasar-dasar Pancasila. Tapi bagaimanapun juga alasannya pesantren tetap harus berbeda dengan “luar masyarakat”. Semoga kaidah Al-muhafadhatu ala qadimis shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah tetap dijadikan sebagai pegangan.(*)







[1] Penulis adalah siswa MA 1 Annuqayah Kelas XI IPS 1
[2] Lihat Dr. Wahjoetomo, Perguruan Tinggi Pesantren, hal.70.
[3] Dr. Abu Yazid, MA, LL.M, “Membangun Islam Tengah, Refleksi Dua Dekade Ma’had Ali Situbondo”, (Yogyakarta : Pustaka Pesantren, 2002)hal.26.
[4] Telusuri ulang , dalam pengantar editor “Menggerakkan Tradisi Esai Esai Pesantren”. Baca Abdurrahman Wahid, “Menggerakkan Tradisi,Esai-Esai Pesantren ” (Yogyakarta : LKiS, 2010)hal.Xii.
[5] Cek kembali dalam buku, Harun Nasution, “Teologi Islam Aliran-Aliran Sejarah Analisa perbandingan
[6] Keterangan lebih lanjut mengenai jalan dagang Timur-Barat ini dan pengaruhnya terhadap Makkah, dapat di baca dalam Philip K. Hitti, “History of The Arabs”, london, Mac Millan & Co. Ltd. 1964, bab IV-VII, Bernard Lewis, “The Arabs In History,” New York, Harper & Row, 1960, bab I,passim and M. Watt, “Mahomet a La Mecque ” terjemahan F. Douryeil, Paris, Payot, 1985 hal.21-42.
[7]Telisik ulang, Marshall GS Hudgson, “ The Venture of Islam”, (Jakarta : Paramadina,2002)hal.99.
[8] Secara umum berpaham sesuai dengan golongan Abu Hasan Al Asyari, syariat bermazab kepada Madhazib Al Arba’ sementara tasawuf kepada Imam Al Ghazali, baca Dr. H. Said Agiel Siradj, “Ahl Sunnah Wal Jamaah dalam Lintasan Sejarah”, (LKPSM : Yogyakarta, 1997)hal.7.
[9] Perintis awal NU adalah KH. Hasjim Asy’ari kemudian saat berada pada pimpinan cucunya, KH.Abdurrahman Wachid terbelah menjadi partai politik yakni PKB.
[10] Untuk lengkap lagi, baca, Abdurrahman Wahid,  Pesantren Sebagai Sub-Kultur” .ed.)“Menggerakkan Tradisi Esai-Esai Pesantren” (LKiS : Yogyakarta, 2010)hal.7.
[11] Islam dianggap sebagai solusi alternatif ditengah kacau-balaunya persoalan peradaban. Islam sebagai lembaga keagamaan selalu berusaha mengetengahi secara bijaksana. Baca, Prof. inu kencana Syafi’ei, “Pengantar Filsafat” (Jakarta : UI Press,2011).hal.145
[12] Baca kembali dalam buku, Dr.Abu Yazid,M.A,LL.M “Membangun Islam Tengah, Refleksi dua dekade Ma’had Ali Situbondo” (Yogyakarta : Pustaka Pesantren,2002)hal.145-147

Senin, 18 Februari 2013

Meraba Denyut nadi Kehidupan


Meraba Denyut Nadi Kehidupan
Hidup dan kehidupan- merupakan dua term yang memiliki makna mengikat diantara yang satu dengan lainnya. Mustahil  akan ada hidup tanpa kehidupan, sebaliknya mustahal ada kehidupan tanpa tanpa ada hidup. Berawal dari manakah hidup ini, mulai kejadian hingga lengkapnya keindahan yang tiada terperi, akal kita barangkali belum menyentuh koridor pertanyaan filosofis tersebut. Kadang diantara kita melupakan pertanyaan yang belum mampu terjawab, yang itu terselip dilipatan kantong baju. Terkadang pula menganggap remeh temeh hidup yang diberikan oleh Tuhan.
Maka tatkala tiba titik jenuh menjalani getir-pahit hidup itu, baru kita menghidupkan pikiran untuk sejenak memikirkan arti hidup. Ada banyak penafsiran akan pengertian serta arti hidup itu sendiri, ada yang punya persepsi bahwa hidup hanya sekedar mengabdi dan menjalankan misi suci Tuhan. Ada pula yang berasumsi bahwa manusia di tuntut menikmati tiap detik dari tarikan napas, menikmati kelengkapan fasilitas alam yang super-lengkap secara eksploitatif.
Supaya lebih arif, mesti memasrahkan semua pengertian kepada tiap individu. Karena, mereka sendiri yang akan menikmati setiap apa yang dijalani. Cuma agak sedikit terhenyak jika menyaksikan banyak kaula santri yang menjalani hidup dengan sebatas hura-hura. Padahal masih ada banyak jalan yang bisa dimanfaatkan untuk menikmati hidup yang lebih menunjang terhadap mutu diri. Ada yang nongkrong berbasa-basi tentang cewek dan segala tetek bengek yang jauh dari nilai kebermanfatan dalam jangka panjang.
Entahlah bagaimana filosofi hidup yang dipegang oleh mereka yang belum memiliki kesadaran utuh dalam menyikapi kehidupan yang ritmis. Setidaknya, ini adalah pengantar dari persoalan santri yang belum mampu di pecahkan secara berkesinambungan. Maka, lebih menarik jika menyikut ungkapan Plato_hidup yang tak terpikirkan adalah hidup yang tak pantas dijalani_mampukah seorang pe-nongkrong itu memikirkan hakikat hidup ? semua ada pada titik kesadaran logistik yang dapat mereka pergunakan secara linear.
Manusia hidup dan menjalani kehidupan tanpa ada negosiasi dengan Tuhan. Secara tiba-tiba kita hadir dengan seonggok tulang dibalut daging_yang kemudian dinamakan manusia. Wajar kita belum mampu menyerap sebuah enigma hidup yang membingungkan, bukankah tuhan menggariskan dalam kitabnya bahwa manusia adalah khalifah fil ard dan itu ada indikasi manusia di harapkan membawa bumi pada taraf yang lebih baik. Lalu dengan nongkrong tak bermamfaatkah kita bisa membawa dunia pada arah yang lebih baik ?
Setidaknya, kita mencari laku yang dapat menunjang potensi khalifah yang di warisi Allah seperti membaca, berorganisasi dan paguyuban yang lebih membawa manfaat dalam mengembangkan skill untuk menikmati laju hidup yang panjang. Tentu di setiap sekon kita dapat meraba denyut nadi kehidupan bahwa hidup kita tidak dijalani dengan hambar. Misal dengan menulis yang menuntut untuk peka membaca realitas kehidupan yang di rasa timpang. Semoga teman-teman dapat menjaga timbul-tenggelamnya semangat dalam mengarungi keras sekaligus nikmatnya hidup. (*)  

Moh Shiddiq
Kunjungi blog-nya di penyatujiwa96.blogspot.com dan penyaturasa.blogspot.com
    Tak usah muluk-muluk dalam merangkai beragam cita-cita, kita hanya memungkinkan untuk berpikir tentang kemungkinan dalam hidup yang  kita jalani. Mungkin dapat kita sebut sebagai keajaiban ketika akal letih melakukan upaya rasional untuk memuluskan keinginan menjulang.