Pages

Ads 468x60px

Kamis, 18 Oktober 2012

AKAR SEJARAH PEMIKIRAN LIBERAL

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Akar Pemikiran Liberal
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama "demokrasi rakyat", yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat.
Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah).
Sejarah Pemikiran Liberal
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Sejarah Masuknya Pemikiran Liberal di Indonesia
Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.
Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.
Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). (Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. (Said, 1995:101).
Tokoh-Tokoh Liberal Indonesia
Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya (Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal. (Husaini & Hidayat, 2002:34). Benar, Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003).
Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,"Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam." (Anshari, 1997:27).
Jadi, Soekarno dan Hatta sebenarnya bukan pahlawan dan bukan teladan yang baik bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Keduanya hanyalah bagian dari kelompok sekular di negeri ini yang hakikatnya tidak melakukan apa-apa, selain melestarikan ideologi penjajah di Indonesia dengan mengikuti model negara sekular yang dijalankan kaum Yahudi dan Nasrani yang kafir.
Seharusnya umat Islam tidak boleh mengikuti jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani (QS Al-Maidah:51), meski kita tak perlu terlampau heran kalau memang terjadi. Karena Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah berpesan : "Sungguh kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk lubang biawak, kamu akan tetap mengikuti mereka." Para shahabat bertanya,"Apakah mereka Yahudi dan Nasrani?" Jawab Rasulullah SAW,"Lalu siapa lagi?" (HR Bukhari & Muslim). Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004
Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press), 2002
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani Press), 1997
Al-Qashash, Ahmad, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1992
Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984
Falah, Maslahul, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2003
Husaini, Adian & Hidayat, Nuim, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta : : Gema Insani Press), 2002
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi hSekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005
Idris, Ahmad, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil, (Jakarta : Gema Insani Press), 1991
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES), 1991
Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah), 1995
Shodiq, Abdulloh, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal, (Pasuruan : PT Garoeda Buana Indah), 1992
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES), 1986
Ulwan, Abdullah Nashih, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar'ah Az-Zaman wa Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996

Minggu, 14 Oktober 2012

berre' kibena

gimana caranya mengobati kecanduan internet ya?
uangku raib karena sering mampir kewarnet

Mengorek Interelasi Gay dibalik Tembok pesantren
Oleh : moh shiddiq*)
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia dan kamu meninggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan untuk-mu, bahkan kamu adalah orang yang melampaui batas.(QS. Asy-syu’ara : 165-166)
Ada sebuah sejarah lama yang nyaris terkubur, yakni tradisi gay yang sempat menggerogoti jiwa kaum Nabi luth. Menghitung secara tematik memang kaum nabi Luth hidup ribuan abad sebelum masehi, jauh dari hiruk-pikuk modernitas yang super canggih. Namun kendati memasuki  abad 21 tak seutuhnya peninggalan nabi Luth sirna dimuka bumi. Sampai detik ini ada segelintir_bahkan lebih_manusia modern memungut sebuah keganjilan tradisi yang diwarisi umat Nabi Luth. Perjuangan untuk mengangkat harkat martabat kaum gay yang terkucilkan dalam tatanan social, secara praktis melahirkan gerakan layaknya emansipasi wanita tahun 90-an hingga Negara maju melegal-formalkan perkawinan sesama jenis dikawasan eropa.
Hal diatas sebenarnya adalah segelintir bukti bahwa ruh dari akar gay masih tumbuh-berkembang dimuka bumi. Dalam sudut pandang Agama, gay merupakan tindakan amat tercela yang dikutuk. Entah itu perspektif Kristen(perjanjian lama) maupun Islam secara yuridis dalam kitab Al-Qur’an. Kedua kitab ini merekam jejak sejarah yang dilakoni kaum Nabi Luth di Negeri Gomorah dan Sodom, dimana mereka dikecam, dicaci. Bahkan mendapatkan adzab pedih tiada tara.  Jelas Agama memaki mereka karena melakukan hubungan tak wajar yang melanggar hak kesusilaan dan memotong regenerasi lahirnya anak adam.
Penulis sendiri merasakan kebimbangan apakah hasrat mencintai lelaki  disebabkan pembawaan sejak lahir atau buatan sendiri. Dalam pada ini, Prof. dr Rodolf Swither menyatakan bahwa secara psikologis pria yang menyukai sesama jenis sebab ketidak-mampuan mereka dalam menerima perbedaan. Wajar bila kemudian mereka menolak kehadiran perempuan disisinya  yang dianggap berbeda dengan keadaan dirinya.
Namun pembahasan akan lebih menarik jika dikaitkan dengan realitas pesantren yang secara eksplisit adalah lembaga sacral dengan memantapkan pemahaman Agama terhadap santrinya. Mungkin hanya ada beberapa tulisan yang mengupas sisi lain keunikan pesantren yang tertutup rapat hingga saat ini. Sebab itulah penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian menarik berkenaan sisi nyleneh dari pesantren itu sendiri.
Hal pertama yang kita ketahui bersama bahwa manusia merupakan makhluq berhasrat, manusia dilahirkan dengan kesempurnaan. Dikatakan demikian karena adanya nafsu ammarah dan muthmainnah yang terkandung didalamnya. Keadaan tarik-menarik ini menimbulkan kebimbangan dalam  setiap apa yang dilakukan. Sisi lain manusia dilahirkan untuk berpasang-pasangan, ini memang fitrah yang tak dapat ditolak apapun pangkat dan jabatan yang sedang diemban. Walau begitu adapula kecenderungan psikologis yang berbeda, yang dalam trend umum dikenal dengan istilah gay atau lesbian.
Diakui ataupun tidak, penulis cukup lama mengenyam pendidikan dipesantren, tak ada salahnya bila mendokumentasikan sedikit pengalaman unik yang sempat terlewati. Adapun kejadian ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan prilaku suka sesama jenis. Di pesantren kami istilah tersebut dikenal dengan Muye’.sementara di PP.Al-Amien Prenduan disebut badi’(baca : bahasa arab).   
Selama ini pesantren dikenal sebagai tempat transformasi
*)Santri PP.A lubangsa selatan siswa MA 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura

Dunia Arsitektur Dan Tuhan
Oleh : Moh Shiddiq*)

Sejarah lama membukukan bahwa terbangunnya ordo-ordo tua dengan khas yang sangat kental dengan arsitektur kebaratan adalah bukti nyata akan adanya komunitas rahasia yang mengajarkan tentang hal yang berkenaan langsung dengan “misteri”. Jika dikembalikan lagi pada momentum kebangkitan eropa yakni dengan munculnya Amerika Serikat sebagai polisi dunia kenyataannya tidak pernah lepas dengan permainan simbolik yang berpangkalkan akan megahnya bangunan-bangunan tua.
            Dalam novel Dan Brown, The Lost Symbol nyata mengungkapkan demikian. Ordo-ordo yang berdiri ajeg di Amerika berawal dari skenario Organisasi Freemason yang lari dari kejaran Salahuddin Al- Ayyubi pada perang suci antara Islam dan Kristen di Jerussalem, Palestina.
            Dalam sebuah pengantar tulisan Gerard de Nerval dikatakan bahwa ekspresi terbaik adalah bagi mereka yang menjadi pekerja bangunan. Apabila jiwa mengekspresikan kekalutan maka yang kan terjadi adalah pekerjaan buruk. Sebaliknya justru jika jiwa dalam keadaan baik akan memberikan efek terbaik terhadap pencapaian-pencapaian prestisius apalagi yang berkenaan lansung dengan sisi pembangunan gedung.
            Iphho Santoso dalam bukunya, Menguak Keajaiban Otak Kanan menandaskan bahwa otak kanan adalah bertipikal intuitif dan imajinatif. Tentu implikasi logis dari kenyataan yang ada otak kanan mengandalkan kreasi yang mampu menghasilkan karya spektakuler. Lain halnya dengan otak kiri yang cenderung acakan dan meng-kuantifikasi segala kepemilikan kosmik yang bertebaran di alam semesta ini.
            Tak terlalu berlebihan jika kemudian ada pergulatan pemikiran filsafat idealisme yang dicetuskan oleh Hegel bertentang-alot dengan filsafat materialis. Kecenderungan berpikir Hegel lebih menitik-beratkan pada dunia idea yang bertipikal spiritual. Menurutnya, kebebasan manusia berada pada roh absolut. Tentu, hasil akhir dari penarikan pemikiran ini sedikit banyak berpijak pada akar deterministik. Sementara pijakan materialisme lebih pada probabilitas materi. Kehidupan yang hakiki ada di dunia materi.tapi, ketika ada peristiwa ganjil yang tidak dapat dijangkau oleh akal bukan sebab ada penggerak diluar materi. Melainkan hanya saja ketidak-mampuan akal dalam menangkap pesan materi itu.
            Namun bagaimanapun, ketika dunia menginjakkan kaki diabad millennium ketiga kesadaran beragama mulai tumbuh secara perlahan disebabkan kegersangan nilai yang sedang dialami oleh manusia. Benar apa yang telah diwartakan Hegel bahwa manusia selalu ingin bebas. Tapi kebebasan manusia harus ada pada roh absolut. Tidak lebih. Tentu pada tahap selanjutnya betapa pentingnya kehadiran ideologi keberagamaan dalam memanifestasikan nilai-nilai yang seirama dengan inti berkehidupan yang lurus.
            Robert Graves dalam An Illustrated Guide to The Lost Symbol menandaskan bahwa Tuhan pun adalah arsitektur professional. Dikatakan demikian karena Tuhan mampu menghias-ciptakan dunia yang begitu indah selama enam (6) hari. Maka, wewenang  Tuhan sebagai arsitektur dilimpahkan pada entitas kemanusiaan, sesuai dengan Al-Quran sebagai khalifah al ard. Tapi dengan apakah manusia dapat membangun ?
            Perbincangan Malaikat dengan Tuhan sebelum diciptakannya Nabi Adam ada semacam keraguan Malaikat terhadap akuntabilitas manusia yang berperangai sebagai penghancur dan ahli dalam menumpahkan darah kemanusiaan. Kenyataannya memang demikian, manusia seringkali menghancurkan rumah kemanusiaan lainnya terwarisi sebagai karakter utuhnya. Setidaknya, hal ini berkaca pada perjalanan sejarah yang sangat kental akan pertentangan hingga menumpah-ruahkan darah kemanusiaan. Misal, tragedy Holoucaust yang diprakarsai rezim Nazi dan peperangan antar saudara yang terjadi diEropa merupakan bukuti nyata akan kekejaman manusia terhadap kemanusiaan.
            Padahal Tuhan menginginkan manusia agar saling berangkulan satu-sama lain. Apalagi manusia sebagai wakil Tuhan dalam melestarikan semesta dari pertikaian-pertikaian justru manusianya sendiri bukan menjadi pembangun melainkan sebagai penghancur bagi keberlangsungan hidup yang sejahtera. Pada dasarnya manusia dituntut untuk menjadi arsitektur dalam menyaingi kreativitas Tuhan yang tiada berhingga.namun tampaknya amat sangat mustahil bagi manusia menjelma sebagai arsitek jika menjauh dari ikatan tali keberagamaan Tuhan. Ironinya, banyak orang beragama namun tidak menghayati makna keberagamaannya hingga pada gilirannya Agama mapan secara formal di KTP. Semoga agama menjadi pembangun dengan penghayatannya yang baik pula.(*)
      
Selasa 03 juli 2012               

Sabtu, 13 Oktober 2012


Pesantren dan Etika Peradaban
Oleh : Moh Shiddiq
Semua kalangan yang masih mengatas namakan muslim_bahkan santri, mustahil lupa sebuah hadist yang berbunyi innama buisytu liutammima makaarimal akhlaq yang menyatakan bahwa kemunculan Nabi Muhammad di padang Arabia disebabkan keringnya nilai-nilai hidup yang bermuara pada etika. Mengaitkan secara linear dengan sejarah peradaban arab tampaknya memang berkait-kelindan satu sama lain. Realita yang hadir semenjak itu sarat akan budaya Jahiliah yang bertentangan dengan spirit luhur keislaman yang hakiki.
Tak ayal, jika kemudian Nabi Muhammad menyebut bahwa peradaban Arab Jahiliah satu-satunya peradaban paling bodoh. sementara kehadiran beliau ditengah kegersangan spiritual dianggap sebagai trangkisnya dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (minadz dzulumaati ilan nuuri) yang berpangkalkan akan cahaya Islam. Pada bagian lain sejak turunnya ayat al yauma akmaltu lakum wa atmamtu alaikum ni’matii waradiitu lakumul islama diina maka sejak saat inilah ada indikasi semakin terkikisnya aktualisasi nilai keislaman.
Wajar, menginjak pada tataran kemajuan Eropa yang mengusung nama Renaisains Muslim seakan latah oleh suguhan menggiurkan dalam berbagai sisi. Termasuk diantaranya mode, pakaian, teknologi dan segala tetek bengek lainnya yang terkait dengan term modern. Namun lebih menarik lagi bila pembahasan dispesifikasikan pada muatan historis akan supremasi Barat dalam berbagai dimensi itu.
Sejak abad 11 Eropa dalam keadaan terkatung-katung. Masa ini, Islam menikmati puncak keemasannya dari masa Dinasti Abbasiyah hingga periode Salahuddin Al Ayyubi. Namun, keadaan berbalik arah tatkala terjadi peperangan sengit pada perang Salib yang melibatkan Islam dan Kristen. Suasana genting itu, membawa petaka bagi Islam dengan terbakarnya khazanah keislaman yang terpajang di perpustakaan Mesir, Iraq (Baghdad) dan Spanyol (Andalusia, Cordoba).praktisnya, terjadi peralihan bahasa dari Arab ke bahasa Latin. Namun begitu, hingga detik ini Eropa masih mengelak dari “plagiasi ilmiayah”  ini.
Dalam tataran ideologis pun, yang berkenaan dengan filsafat yunani Islam juga turut andil dalam menerjemahkan kedalam bahasa latin. Dimana, Ibnu Rusyd dalam sebuah hikayah berguru langsung kepada Aristoteles yang oleh orang Barat tidak diakui secara formal. Bahkan, penemuan kekuatan atom,gravitasi dan segala penemuan ilmiayah terlebih dahulu ditemukan Islam diabad yang lampau. Bedanya, ilmuwan muslim menggenjot kemajuan dibalik kekuatan teks, sedangkan penemuan Albert Einstein dan Sir Isaac Newtoon condong pada kekuatan konteks.
Sejarah Renaisains
Kecenderungan eropa selama ini menekankan pada kebebasan berekspresi dalam berbagai hal.hingga, pada gilirannya, meledak teori humanis-antroposentris yang mengagungkan manusia diatas entitas lain, tak terkecuali dengan Tuhan. Tak heran bila dalam kebangkitan Eropa menginjak-injak kuasa Bible dan gereja yang dianggap sakral. Pada perkembangan selanjutnya, berkat kemajuan berpikir meletuslah spirit kapitalis-individualis yang bertentangan dengan ajaran luhur keberagamaan yang lurus.
            Alhasil, kemajuan yang sebenarnya di promosikan sebagai kebebasan yang bersendikan terhadap superioritas akal yang terbatas. Banyak perilaku yang menjauh dari pranata etis yang baik yang bersumber dari keterbatasan itu sendiri. Dewasa ini, Eropa menggemakan sebuah kebahagiaan dengan pencapaian yang menurutnya baik.
            Tidak dapat mengelak, bila hidup disatukan dalam satu kampung global (­Global Village) transformasi budaya luar meremuk-redamkan nilai local di Negara ketiga. Disatu sisi dengan gencarnya pertukaran budaya semakin menguatkan supremasi Barat sebagai kolonialis-imperialis yang selama berabad-abad lamanya melakukan invasi ke negara muslim. Sebab itulah demi melanggengkan kejayaan Islam, Mohammad Abduh dan Mohammad Iqbal, seorang pembaharu, mengajak ummat Islam memangku tradisi keislamannya yang semakin tertanggalkan secara perlahan.
Membangkitkan Pesantren
            Sebagai lembaga Islam yang tetap survive di Indonesia pesantren memiliki peran strategis dalam menggawangi moralitas bangsa dari keterpurukan. Secara diplomatis, pesantren tidak dituntut untuk mengajarkan fundamentalisme keberagamaan sebab ketertekanan Islam dewasa ini. Tapi, kebutuhan jangka panjang bermuara pada mashlahatul ummah. Tidak pula pesantren dituntut mencetak kader yang gila konteks hingga kelihatan memperkosa teks.
            Dalam pada itu, pesantren harus mampu melahirkan kader yang menyeimbangkan nalar teologis dan nalar saintifik yang cenderung berbenturan. Kendatipun pada prinsipnya sulit terwujud. Namun demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil diwujudkan jika ada kekompokan antar stake holder pesantren. Lebih dari itu, pesantren mesti memiliki Plannig sistematis dalam rangka menyongsong perubahan. Semoga kaidah al muhafadhatu ala qadiimish shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah teraplikasikan secara riil.(**) 

Siswa MA 1 Annuqayah, berdomisili di PPA Lubangsa Selatan B/8        

    

Jumat, 05 Oktober 2012

BINGUNG

aduuhhhh aku pada sisi lain ingin jadi insinyur pertanian

KEGELISAHAN YANG MENGUAP

selama ini saya sebagai siswa kelas akhir selalu saja memikirkan masa depan. entah itu berkenaan dengan tempat perkuliahan dan segala tetek bengek lainnya. kegundahan ini memang melanda sejak kelas XI, tapi rencana, saya memiliki minat untuk kuliah di UIN SUKA Yogyakarta dengan mengambil jurusan aqidah-filsafat. toh walaupun jurusan ini rawan mendapatkan kekhawatiran dari pihak pengasuh Pondok Pesantren Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura.
keinginan orang tua memondokkan anaknya tak lain adalah satu yakni agar menjadi anak yang pintar, melebihi kualitas keilmuan orang tua yang dapat dikatakan minim. bahkan, dalam skala Madura berdasarkan presentase 70 persen penduduk orang tua tanpa pendidikan dan buta huruf. oleh karena itu, perlu peran penting para pemuda supaya menjadi orang berpendidikan yang mengabdi terhadap kepentinga lokal dan nasional.
hal yang membuat saya bingung adalah keinginan orang tua yang menginginkan anaknya terus melanjutkan studinya dipesantren, sementara dari pihak anak mulai ada semacam kejenuhan hidup dipesantren, sekali-kali ingin menapaki hidup diluar Madura yang katanya bisa menambah pengalaman. jika saya menentang kebijakan orang tuaku, pasti saya dicap sebagai anak durhaka. Tapi, bagaimanapun ini merupakan penentuan masa depanku. namun demikan saya harus mendapatkan restu bundaku untuk kuliah di Yogyakarta.     

Derrida dan Gaya Hidup

Setelah beberapa lamanya saya berhenti berfilsafat dan –malah- menggarap artikel Ekonomi dan Pasar Modal, akhirnya jiwa ini kembali memasuki ranah hutan akademus, lorong-lorong yang di kanan-kirinya terdapat banyak pintu menuju kebijaksanaan. Berikut ini, saya akan membahas seorang filosof Aljazair; Jacques Derrida; filosof kontroversial, akibat teori dekonstruksinya yang dinilai sulit untuk dipahami dan terlalu dibuat2. Artikel ini tidak akan menjelaskan secara rinci mengenai teorinya. Artikel ini hanya akan menjelaskan esensi dari teori dekonstruksi dan pemaknaannya dalam kehidupan sehari-hari.

    Derrida dilahirkan pada tanggal 15 Juli 1930 di El Biar, Aljazair dan meninggal di Paris, Perancis tanggal 8 Oktober 2004 –Karena itu Derrida lebih dikenal sebgai filosof Perancis daripada filosof Aljazair. Filsuf ini secara terang-terangan telah mengkritik filsuf Barat, terutama kritik dan analisis mengenai bahasa “alam”, tulisan, dan makna sebuah konsep. Dekonstruksi, alat yang digunakan untuk meruntuhkan konsep-konsep dan deskripsi-deskripsi kita selama ini. Saya akan memulai penjelasan mengenai konsep dekonstruksi dengan memberikan sebuah contoh dari implementasi dekonstruksi sederhana. Anda pasti tahu Batman ?? Seorang pahlawan dari kota Gotham, yang diciptakan oleh ilustrator Amerika, Bob Kane, pada tahun 1938. Batman berbeda dengan Superman. Jika Superman menegakkan kebenaran dan keadilan yang dilandasi semangat cinta dan keikhlasan, maka sebaliknya Batman –dengan tangan kosong- menegakkan kebenaran setelah kedua orangtuanya dibunuh, –yang tidak lain- dapat saya katakan jika Batman memulai “kariernya” itu dengan melakukan pembalasan dendam. Nah, kepada Batman inilah, terminologi Derrida dapat diterapkan, Batman telah “mendekonstruksi” konsep pahlawan selama ini. Konsep pahlawan yg selama ini dianggap sesuatu pekerjaan tulus, tanpa latarbelakang “pembalasan dendam” yang mendasarinya, didekonstruksi oleh Batman. Secara singkat, ia mendekonstruksi konsep yang selama ini kita terima sebagai sesuatu yang sudah jelas dan baku dihadapkan dengan antitesisnya. Jadi, bukan hanya kemalangan atau kekejaman yang ternyata diperlukan untuk menyediakan peluang bagi heroisme, namun juga kualitas2 inheren di dlaam tindak kepahlawanan –sama seperti ketika Batman menggunakan kekerasan untuk mengalahkan musuh yang hendak menuntut keadilan kepadanya, seperti Joker.
    Dekonstruksi, secara garis besar adalah cara untuk membawa kontradiksi-kontradiksi yang bersembunyi di balik konsep-konsep kita selama ini dan keyakinan yang melekat pada diri ini ke hadapan kita. Tanpa adanya Joker, konsep kepahlawanan Batman akan absurd. Ia hanya akan menjadi makhluk freaky yang konyol; bersembunyi dalam kostum anehnya jika tanpa keberadaan si Joker. Terapan ilmu ini jauh lebih sulit dari penjelasannya. Bahkan, karena teori ini sulit untuk dimengerti, timbul banyak kontroversi dan kritik terhadapnya. Toh, tetap saja Derrida menanggapi hal tersebut dengan santai, bahkan ia mengatakan, “Tak seorang pun pernah marah pada matematikawan atau seorang dokter yang tidak dipahaminya sama sekali atau kepada seseorang yang berbicara dengan sebuah bahasa asing. Tetapi, mengapa kita nampaknya selalu meminta filsuf untuk berbicara secara “mudah” dan bukanny kepada para ahli-ahli tersebut yang bahkan lebih susah lagi untuk dipahami oleh pembaca yang sama ?”. Kesulitan ini lebih bermuara pada gaya prosanya yang sulit untuk ditembus. Derrida memang mengakui jika Dekonstruksinya sulit untuk dijelaskan dengan kata-kata biasa. Karena, menurutnya, Dekonstruksi telah mengubah struktur pemahaman terhadap kata-kata yang tidak mampu menerangkan secara eksplisit subjek yang menjadi acuannya. Singkatnya, konsep dekonstruksi tidak didefinisikan secara cocok. Derrida sendiri pernah menulis mengenai konsep dekonstruksi ini pada Profesor Izutzu di Jepang pada tanggal 10 Juli 1983, demikian isinya :
    “…Dekonstruksi bukan suatu metode dan tidak dapat dibuat menjadi metode apapun…..Benar bahwa dalam mazhab-maxhab tertentu (universitas maupun budaya, khususnya di Amerika Serikat) “metafora” teknis dan metodologis yang dianggap dapat mendekati arti kata “dekonstruksi” ternyata malah merusak atau menyesatkannya saja….Tidak cukup juga bila dikatakan bahwa dekonstruksi tidak dapat direduksi menjadi suatu instrumen metodologis atau memberikan padanya serangkaian aturan dan prosedu-prosedur yang dapat disediakan. Tidak juga dapat diklaim bahwa setiap “peristiwa” dekonstruktif tetap tunggal atau, dalam kasus tertentu, sedekat mungkin pada sesuatu layaknya sebuah idiom atau sebuah tanda tangan. Juga harus diperjelas bahwa dekonstruksi bukan sebuah aksi maupun operasi.”

    Membingungkan ? Mengenai ini, Derrida menganalogikan Dekonstruksi dengan sebuah contoh dari sejarah filsafat di dalam cerita Phaedrus. Katanya, Plato menceritakan menceritakan mitos mengenai seorang raja Mesir Thamus yang ditawari oleh dewa Thoth kreasinya yang berupa tulisan. Tetapi, Thamus menolaknya. Ia menilai jika tulisan lebih mempunyai banyak potensi bahaya melebihi manfaatnya bagi manusia. Memang, tulisan dapat menawarkan sebuah ingatan kultural dan intelektual yang semakin sulit dikalahkan oleh waktu –yang melebihi penurunan informasi secara turun-temurun melalui tradisi oral. Tetapi karena kemudahan untuk menyerap informasi dari tulisan inilah, maka kemampuan memori manusia mulai merosot. Guru-guru mulai menjadikan buku (tulisan) sebagai penuntun bagi murid-muridnya –di mana tanpa mereka, murid-murid dapat mengalami misinterpretasi terhadap apa yang telah diajarkan oleh gurunya. Dengan adanya buku, maka perlahan-lahan saksi paternal dan budaya saling menyayangi dari guru ke murid akan mulai pudar. Hal inilah –sebenarnya- yang menjadi esensi dan pengetahuan sejati yang diturunkan oleh seorang guru terhadap muridnya -karena guru yang dewasa dan bijaksana secara sejati, memiliki otoritas yang lebih besar daripada tulisan dan tinta, dan dapat menurunkan kedua faktor di atas kepada muridnya. Tulisan hanya akan menjadikan metode pembelajaran sekedar sebagai metode penghafalan, peralatan mekanis untuk menciptakan simulakrum pengetahuan. Bahkan, kata Derrida, Barat sering mencurigai mereka yang mempelajari segala sesuatu dari buku, seolah-olah buku mampu menyingkapkan dan mengungkapkan pengetahuan yang sejatinya tidak mereka pahami. Derrida berpendapat jika pengistimewaan ucapan di atas tulisan seperti ini merupakan prasangka endemik dalam tradisi filsafat dan agama Barat. Derrida melihat jika Plato dalam Phaedrus jatuh dalam metafora-metafora yang ada dalam praktik penulisan. Hal-hal yang dianggap positif dalam cerita –seperti ucapan, memori hidup, dan kehadiran guru- didefinisikan berdasarkan perbedaan kontrasnya dengan hal-hal yang mengancam mereka. Ucapan, contohnya, bukan sesuatu yang berbeda secara fundamental dengan tulisan, melainkan hanya representasi dan semacam tulisan “yang baik”, yang tertulis dalam “jiwa para siswanya”. Plato dapat menggunakan berbagai macam metafora untuk menjelaskan filsafatnya, tetapi tanpa metafora sekalipun, tetap saja, menurut Derrida mereka setara dengan membaca teks belaka. Mudahnya, bagaimana tulisan dapat mengunci dengan kuat bunyi/kata yang keluar dan mereka ucapkan ? Derrida menolak anggapan jika makna mempunyai korespondensi ideal antara bunyi sebuah kata dengan subjek dan makna yang dikandungnya. Menurut Derrida, relasi merupakan objek yang arbiter, yang berubah-ubah menurut waktu. Pendekatan dekonstruktif lebih menyoroti isi teks agar ia dapat menyingkapkan makna yang seharusnya literal namun telah termanifestasi ke dalam berbagai metafora maupun perwujudan kata-kata. Tujuan dekonstruksi bukan utk menjembatani dua jurang yang ada itu –antara kata dan makna-, melainkan hanya utnuk menunjukkan jika jurang itu memang sudah seharusnya ada dan tidak dapat dielakkan lagi.
    Saya dapat memberikan contoh yang sangat berkaitan dengan kehidupan sehari-hari. Misalnya, Anda menganggap agama yang Anda anut merupakan sebuah “agama sempurna”. Jika suatu hari Anda/orang lain tiba-tiba mempertanyakan salah satu bagian agama itu, atau bahkan mungkin meragukannya, maka Anda harus mempertimbangkan kembali kesempurnaan agama Anda itu. Setidaknya, Anda harus kembali mendefinisikan konsep sempurna itu, karena bagaimana pun, konsep kesempurnaan agama Anda itu sudah menjadi tidak sempurna lagi. Konsep yang tidak sempurna inilah yang menjadi satu-satunya konsep yang Anda miliki, karena pada waktu yang bersamaan akan selalu ada kemungkinan bagi sebuah pemaknaan bahwa agama Anda itu ternyata bukanlah “agama sempurna”. Menurut dekonstruksi, kita tidak akan dapat mencapai titik definitif dari konsep-konsep kita. Sama halnya jika Anda berdebat mengenai penyebab dan efek kebakaran. Anda menduga-menduga kapan api itu menjalar (penyebabnya) atau efeknya. Namun setelah Anda merenungkannya sejenak, akan didapati jika perbedaan antara “sebelum” dan “setelah” tersebut terdiri dari satu titik yang terlalu sukar utnuk dipadatkan dan dibagi menjadi 2 (menjadi “sebelum” dan “sesudah”). Ini juga berlaku pada kata-kata, ia terlihat sarat makna jika terdengar di telinga, tetapi tiba-tiba ia seolah-olah hanya menjadi sekam saat ktia jumpai di KBBI, ketika maknanya lenyap ditelan oleh metafora dan sinonim-sinonim belaka. Tetapi, nilai penting dari karya Derrida ini terletak pada kemampuannya untuk membuat kita melihat jejak dari apa yang telah terabaikan dari konsep dan deskripsi kita karena kelemahan-kelemahan ini merupakan satu entitas yang menjadi kesatuan, yang mengakibatkan mereka tidak mustahil untuk ada dan eksis. Dekonstruksi mengajarkan kita untuk memikirkan dan merenungkan lagi dasar, praktik, konsep, dan nilai kita. Apapun itu, setelah kita menggunakan dekonstruksi, pandangan kita tidak akan menjadi terlalu dogmatis atau fanatis, bahkan akan menjadi lebih murni dan jernih.