Israel Inside
©Dina Y. Sulaeman
Membaca analisis orang ‘luar’
terhadap Israel, mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali
menyatakan prediksinya bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah
biasa. Namun, cukup menarik bila kita membaca analisis orang Israel terhadap
negaranya sendiri. Di dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir
orang yang ‘tercerahkan’ dan bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan
pemerintahan Zionis. Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan
berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan
umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme. Kelompok “Women
in Black” misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam
dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti
penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur’ dan
‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel.
Apa yang membangkitkan kesadaran
orang-orang itu? Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat
buruk. Uri Avnery dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering
menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why
Israel Will Not Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel
bagaikan anak sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his bones!”
Israel sesumbar akan menyerang Iran,
dengan atau tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh
media massa di seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam
negeri pun, para pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap
Iran. Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan
berkata, “Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!”
Dalam analisis Avnery, Israel sama
sekali tidak mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara
militer, Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur
Tengah’ sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery
berupaya ‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan
atas sebuah selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu
sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’ dengan mudah
oleh roket sederhana milik pejuang Palestina.
Begitu pesawat Israel memasuki
wilayah udara Iran, selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran
punya sangat banyak kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas
Avnery. Belum lagi, penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai
minyak dunia dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia.
Dan untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat
mahal; yang akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh Israel.
Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun akan menghujani
Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas.
Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita.”
Namun, ancaman Israel untuk
menyerang Iran sudah cukup untuk membuat pemerintah AS kalang-kabut dan
mengirim misi untuk membujuk ‘ sang adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS,
Gen. Dempsey bahkan menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan
Israel agar tidak menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).
Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan
menyerang Iran? Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak
Israel, ternyata juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi
Israel semakin buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak
ada yang lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi
selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku dijual.
Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk
menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, “Israel harus dihapus dari
muka bumi” adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di
tengah warga. Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya,
“Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?”
Sebenarnya, seperti apakah kekacauan
ekonomi di Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu
negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam
artikelnya “Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon
mengajukan dengan pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?”
“Bukankah selain alpukat dan jeruk,
kita tidak menjumpai produk Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi
mobil, alat elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi
lainnya. Dengan sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari
bangsa asli Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau
minyak.”
Jadi, darimana datangnya kekayaan
Israel? Atzmon menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya
sudah tahu—bahwa Israel mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di
seluruh dunia. Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa
ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu
‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa
orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan
menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral.
“Enam dari tujuh konglomerat yang
menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon,
dan banyak pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja,
sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi.
Dalam artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial,
sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah.
Selain itu, Israel meraup keuntungan
besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang
haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan
uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara
miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke
berbagai negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak
mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu
pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian
produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah).
Parahnya, di pasar, konsumen tidak
bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk
negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes
terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.
Israel juga mendapat uang dari
penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!),
bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki
perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.
Dan, berita buruknya (atau
baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak
menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang
sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga
yang mengontrol 60% perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel
sangat besar,” tulis Atzmon.
Menariknya, kejahatan yang dilakukan
oleh orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi
kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina
dan kita memiliki satu musuh yang sama.”[]
