Pages

Ads 468x60px

Selasa, 20 November 2012


Israel Inside
©Dina Y. Sulaeman
Membaca analisis orang ‘luar’ terhadap Israel, mungkin sudah biasa. Mendengar Ahmadinejad berkali-kali menyatakan prediksinya bahwa Israel sebentar lagi akan tumbang, juga sudah biasa. Namun, cukup menarik bila kita membaca analisis orang Israel terhadap negaranya sendiri.  Di dalam Israel, sesungguhnya ada juga segelintir orang yang ‘tercerahkan’ dan bisa menilai dengan jernih kebobrokan ‘negara’ dan pemerintahan Zionis. Mereka menulis, melakukan aksi-aksi perdamaian, dan berorasi di berbagai negeri untuk membangkitkan kesadaran sesama Yahudi dan umat manusia umumnya, supaya berhenti mendukung Zionisme.  Kelompok “Women in Black” misalnya. Mereka secara rutin melakukan aksi berdiri dalam diam dengan mengenakan pakaian hitam-hitam, sambil membawa spanduk-spanduk anti penjajahan Palestina. Tak pelak, mereka dikata-katai ‘pelacur’ dan ‘pengkhianat’ oleh orang-orang Israel.
Apa yang membangkitkan kesadaran orang-orang itu? Tak lain, karena kondisi di dalam negeri Israel memang sangat buruk. Uri Avnery dan Gilad Atzmon adalah dua penulis Israel yang sering menyuarakan kritik terhadap pemerintahan Zionis. Dalam tulisan berjudul “Why Israel Will Not Attack Iran”, Avnery dengan gaya sarkasmenya menyebut Israel bagaikan anak sekolah yang mengancam “Hold me back, before I break his bones!”
Israel sesumbar akan menyerang Iran, dengan atau tanpa persetujuan AS. Omong besar ini disiarkan tanpa henti oleh media massa di seluruh dunia; memicu berbagai analisis dan talkshow. Di dalam negeri pun, para pemimpin Zionis tak henti-hentinya menyuarakan perang terhadap Iran. Menurut Avnery, Israel sesungguhnya sedang sok-sokan di depan AS, dan berkata, “Gue serang Iran nih… Ayo, coba tahan gue, gue serang nih, sekarang!”
Dalam analisis Avnery, Israel sama sekali tidak mungkin menyerang Iran tanpa persetujuan AS karena memang secara militer, Israel yang disebut-sebut sebagai ‘kekuatan militer terbesar di Timur Tengah’ sangat bergantung pada suplai dari AS. Dengan sederhana, Avnery berupaya ‘menjelaskan’ kepada orang-orang Israel bahwa Iran punya kekuasaan atas sebuah selat ‘sempit’, yaitu Selat Hormuz, yang lebarnya 35 km. Jarak itu sama jauhnya dari Gaza ke Beer Sheva, yang ternyata bisa ‘dilalui’ dengan mudah oleh roket sederhana milik pejuang Palestina.
Begitu pesawat Israel memasuki wilayah udara Iran, selat Hormuz akan segera ditutup dan angkatan laut Iran punya sangat banyak kapal pengangkut rudal untuk menjaga selat itu, jelas Avnery. Belum lagi, penutupan selat Hormuz artinya menghalangi sepertiga suplai minyak dunia dan akan menimbulkan kekacauan ekonomi yang sangat besar di dunia. Dan untuk membuka paksa selat itu, dibutuhkan operasi militer yang sangat mahal; yang akan sangat berat ditanggung oleh AS dan NATO; apalagi oleh Israel. Avnery bahkan menambahkan bahwa bila perang terjadi, “Rudal pun akan menghujani Israel, tidak hanya dari Iran, tetapi juga dari Hizbullah dan mungkin Hamas. Kita tidak punya kekuatan yang cukup untuk mempertahankan kota-kota kita.”
Namun, ancaman Israel untuk menyerang Iran sudah cukup untuk membuat pemerintah  AS kalang-kabut dan mengirim misi untuk membujuk ‘ sang adik’. Komandan Staff Gabungan Militer AS, Gen. Dempsey bahkan menyebut Iran sebagai ‘aktor rasional’, untuk menenangkan Israel agar tidak menyerang Iran (baca tulisan saya sebelumnya).
Lalu, untuk apa Israel sesumbar akan menyerang Iran? Selain untuk menekan AS agar mau menuruti berbagai kehendak Israel, ternyata juga untuk konsumsi politik dalam negeri. Kondisi ekonomi Israel semakin buruk dan memicu demo-demo besar-besaran anti pemerintah. Tidak ada yang lebih mudah untuk mengalihkan perhatian warga dari masalah ekonomi selain adanya ancaman perang. Karena itulah ‘ancaman Iran’ sangat laku dijual. Iran terus-menerus disebut sebagai pembuat bom nuklir yang akan digunakan untuk menghancurkan Israel. Ucapan legendaris Ahmadinejad, “Israel harus dihapus dari muka bumi” adalah mantra yang sangat mempan untuk menimbulkan rasa takut di tengah warga. Itulah sebabnya Avnery dengan sarkasme menutup tulisannya, “Untung ada Ahmadinejad, kalau tidak apa jadinya kita hari ini?”
Sebenarnya, seperti apakah kekacauan ekonomi di Israel? Bukankah berbagai media menyebut Israel sebagai salah satu negara dengan pertumbuhan ekonomi tertinggi di dunia? Gilad Atzmon, dalam artikelnya “Israel Economy For Beginners” menjelaskan hal ini. Atzmon mengajukan dengan pertanyaan kritis, “Dari mana Israel memperoleh kekayaannya?”
“Bukankah selain alpukat dan jeruk, kita tidak menjumpai produk Israel?” tulis Atzmon. Israel tidak memproduksi mobil, alat elektronik, dan sangat sedikit membuat barang-barang konsumsi lainnya. Dengan sarkasme, Atzmon menulis, “Di tanah yang mereka rampok dari bangsa asli Palestina, mereka juga tidak menemukan mineral berharga atau minyak.”
Jadi, darimana datangnya kekayaan Israel? Atzmon menyodorkan faka-fakta –dan kebanyakan dari kita sebenarnya sudah tahu—bahwa Israel mendapatkan ‘sedekah’ dari orang-orang kaya Yahudi di seluruh dunia. Dalam artikel lain di Haaretz (koran Israel), disebutkan bahwa ada istilah Ibrani yang menjadi standar nilai moral di kalangan Yahudi, yaitu ‘tzedakah’. Haaretz mengutip seorang peneliti yang menyebutkan bahwa orang-orang kaya Yahudi memiliki keterikatan kekeluargaan yang sangat erat dan menjadikan ‘tzedakah’ sebagai sebuah kewajiban moral.
“Enam dari tujuh konglomerat yang menguasai 50% ekonomi Rusia tahun 1990-an adalah orang Yahudi,” tulis Atzmon, dan banyak pengusaha Yahudi Rusia yang juga memiliki paspor Israel. Tentu saja, sudah banyak diketahui, kebanyakan konglomerat AS juga orang Yahudi.  Dalam artikel di Haaretz itu juga dipaparkan betapa berbagai organisasi sosial, sekolah, dan universitas di Israel sangat menggantungkan diri dari tzedakah.
Selain itu, Israel meraup keuntungan besar dari bisnis pencucian uang. Israel merupakan surga untuk mencuci uang haram yang dilakukan mafia-mafia dan pengusaha kotor. Israel juga mendapatkan uang dari industri berlian. Israel mengimpor berlian mentah dari negara-negara miskin Afrika lalu mengolahnya menjadi perhiasan dan mengekspornya ke berbagai  negara dunia. Mengingat bahwa penambangan berlian banyak mengorbankan rakyat miskin di Afrika, dan bahwa berlian menjadi salah satu pilar utama ekonomi Israel yang merupakan penjajah Palestina, maka berlian produksi Israel sering disebut sebagai ‘blood diamond’ (berlian berdarah).
Parahnya, di pasar, konsumen tidak bisa mendeteksi, mana ‘berlian berdarah’ produk Israel, mana berlian produk negara lain. Tak heran bila LSM-LSM pro-boikot produk Israel menyuarakan protes terkait tidak bisa terdeteksinya negara asal produksi berlian.
Israel juga mendapat uang dari penjualan alat-alat militer (dan sayangnya, Indonesia termasuk pembelinya!), bahkan dari penjualan organ tubuh manusia. Pendek kata, Israel memiliki perekonomian yang maju karena melakukan aktivitas ekonomi yang sangat kotor.
Dan, berita buruknya (atau baiknya?), orang-orang Yahudi kasta rendah di Israel sama sekali tidak menikmati kekayaan itu. Pertumbuhan ekonomi yang pesat di Israel pada saat yang sama justru disertai dengan ketidakadilan sosial. Di Israel, ada 18 keluarga yang mengontrol 60% perusahaan. “Jurang antara si kaya dan si miskin di Israel sangat besar,” tulis Atzmon.
Menariknya, kejahatan yang dilakukan oleh orang-orang kaya Zionis di berbagai penjuru dunia lewat aktivitas ekonomi kotornya, membuat Atzmon menyimpulkan, “Kita semua ini adalah bangsa Palestina dan kita memiliki satu musuh yang sama.”[]


Kamis, 18 Oktober 2012

AKAR SEJARAH PEMIKIRAN LIBERAL

Oleh KH. M. Shiddiq Al-Jawi
Akar Pemikiran Liberal
Pemikiran liberal (liberalisme) adalah satu nama di antara nama-nama untuk menyebut ideologi Dunia Barat yang berkembang sejak masa Reformasi Gereja dan Renaissans yang menandai berakhirnya Abad Pertengahan (abad V-XV). Disebut liberal, yang secara harfiah berarti "bebas dari batasan" (free from restraint), karena liberalisme menawarkan konsep kehidupan yang bebas dari pengawasan gereja dan raja. (Adams, 2004:20). Ini berkebalikan total dengan kehidupan Barat Abad Pertengahan ketika gereja dan raja mendominasi seluruh segi kehidupan manusia.
Ideologi Barat itu juga dapat dinamai dengan istilah kapitalisme atau demokrasi. Jika istilah kapitalisme lebih digunakan untuk menamai sistem ekonominya, istilah demokrasi sering digunakan untuk menamai sistem politik atau pemerintahannya. (Ebenstein & Fogelman, 1994:183). Namun monopoli istilah demokrasi untuk ideologi Barat ini sebenarnya kurang tepat, karena demokrasi juga diserukan oleh ideologi sosialisme-komunisme dengan nama "demokrasi rakyat", yakni bentuk khusus demokrasi yang menjalankan fungsi diktatur proletar. (Budiardjo, 1992:89).
Walhasil, ideologi Barat memang mempunyai banyak nama, bergantung pada sudut pandang yang digunakan. Namun, yang lebih penting adalah memahami akar pemikiran liberal yang menjadi pondasi bagi seluruh struktur bangunan ideologi Barat.
Menurut Ahmad Al-Qashash dalam kitabnya Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah (1995:31) akar ideologi Barat adalah ide pemisahan agama dari kehidupan (sekularisme), yang pada gilirannya melahirkan pemisahan agama dari negara. Sekularisme inilah yang menjadi induk bagi lahirnya segala pemikiran dalam ideologi Barat. Berbagai bentuk pemikiran liberal seperti liberalisme di bidang politik, ekonomi, ataupun agama, semuanya berakar pada ide dasar yang sama, yaitu sekularisme (fashl al-din 'an al-hayah).
Sejarah Pemikiran Liberal
Pemikiran liberal mempunyai akar sejarah sangat panjang dalam sejarah peradaban Barat yang Kristen. Pada tiga abad pertama Masehi, agama Kristen mengalami penindasan di bawah Imperium Romawi sejak berkuasanya Kaisar Nero (tahun 65). Kaisar Nero bahkan memproklamirkan agama Kristen sebagai suatu kejahatan. (Idris, 1991:74). Menurut Abdulah Nashih Ulwan (1996:71), pada era awal ini pengamalan agama Kristen sejalan dengan Injil Matius yang menyatakan,"Berikanlah kepada Kaisar apa yang menjadi milik Kaisar dan berikanlah kepada Tuhan apa yang menjadi milik Tuhan." (Matius, 22:21).
Namun kondisi tersebut berubah pada tahun 313, ketika Kaisar Konstantin (w. 337) mengeluarkan dekrit Edict of Milan untuk melindungi agama Nasrani. Selanjutnya pada tahun 392 keluar Edict of Theodosius yang menjadikan agama Nasrani sebagai agama negara (state-religion) bagi Imperium Romawi. (Husaini, 2005:31). Pada tahun 476 Kerajaan Romawi Barat runtuh dan dimulailah Abad Pertengahan (Medieval Ages) atau Abad Kegelapan (Dark Ages). Sejak itu Gereja Kristen mulai menjadi institusi dominan. Dengan disusunnya sistem kepausan (papacy power) oleh Gregory I (540-609 M), Paus pun dijadikan sumber kekuasaan agama dan kekuasaan dunia dengan otoritas mutlak tanpa batas dalam seluruh sendi kehidupan, khususnya aspek politik, sosial, dan pemikiran. (Idris, 1991:75-80; Ulwan, 1996:73).
Abad Pertengahan itu ternyata penuh dengan penyimpangan dan penindasan oleh kolaborasi Gereja dan raja/kaisar, seperti kemandegan ilmu pengetahuan dan merajalelanya surat pengampunan dosa. Maka Abad Pertengahan pun meredup dengan adanya upaya koreksi atas Gereja yang disebut gerakan Reformasi Gereja (1294-1517), dengan tokohnya semisal Marthin Luther (w. 1546), Zwingly (w. 1531), dan John Calvin (w. 1564). Gerakan ini disertai dengan munculnya para pemikir Renaissans pada abad XVI seperti Machiaveli (w. 1528) dan Michael Montaigne (w. 1592), yang menentang dominasi Gereja, menghendaki disingkirkannya agama dari kehidupan, dan menuntut kebebasan.
Selanjutnya pada era Pencerahan (Enlightenment) abad XVII-XVIII, seruan untuk memisahkan agama dari kehidupan semakin mengkristal dengan tokohnya Montesquieu (w. 1755), Voltaire (w. 1778), dan Rousseau (1778). Puncak penentangan terhadap Gereja ini adalah Revolusi Perancis tahun 1789 yang secara total akhirnya memisahkan Gereja dari masyarakat, negara, dan politik. (Qashash, 1995:30-31). Sejak itulah lahir sekularisme-liberalisme yang menjadi dasar bagi seluruh konsep ideologi dan peradaban Barat.
Sejarah Masuknya Pemikiran Liberal di Indonesia
Sekularisme sebagai akar liberalisme masuk secara paksa ke Indonesia melalui proses penjajahan, khususnya oleh pemerintah Hindia Belanda. Prinsip negara sekular telah termaktub dalam Undang-Undang Dasar Belanda tahun 1855 ayat 119 yang menyatakan bahwa pemerintah bersikap netral terhadap agama, artinya tidak memihak salah satu agama atau mencampuri urusan agama. (Suminto, 1986:27).
Prinsip sekular dapat ditelusuri pula dari rekomendasi Snouck Hurgronje kepada pemerintah kolonial untuk melakukan Islam Politiek, yaitu kebijakan pemerintah kolonial dalam menangani masalah Islam di Indonesia. Kebijakan ini menindas Islam sebagai ekspresi politik. Inti Islam Politiek adalah : (1) dalam bidang ibadah murni, pemerintah hendaknya memberi kebebasan, sepanjang tidak mengganggu kekuasaan pemerintah Belanda; (2) dalam bidang kemasyarakatan, pemerintah hendaknya memanfaatkan adat kebiasaan masyarakat agar rakyat mendekati Belanda; (3) dalam bidang politik atau kenegaraan, pemerintah harus mencegah setiap upaya yang akan membawa rakyat pada fanatisme dan ide Pan Islam. (Suminto, 1986:12).
Politik Etis yang dijalankan penjajah Belanda di awal abad XX semakin menancapkan liberalisme di Indonesia. Salah satu bentuk kebijakan itu disebut unifikasi, yaitu upaya mengikat negeri jajahan dengan penjajahnya dengan menyampaikan kebudayaan Barat kepada orang Indonesia. Pendidikan, sebagaimana disarankan Snouck Hurgronje, menjadi cara manjur dalam proses unifikasi agar orang Indonesia dan penjajah mempunyai kesamaan persepsi dalam aspek sosial dan politik, meski pun ada perbedaan agama. (Noer, 1991:183).
Proklamasi kemerdekaan Indonesia tahun 1945 seharusnya menjadi momentum untuk menghapus penjajahan secara total, termasuk mencabut pemikiran sekular-liberal yang ditanamkan penjajah. Tapi sayang sekali ini tidak terjadi. Revolusi kemerdekaan Indonesia hanyalah mengganti rejim penguasa, bukan mengganti sistem atau ideologi penjajah. Pemerintahan memang berganti, tapi ideologi tetap sekular. Revolusi ini tak ubahnya seperti Revolusi Amerika tahun 1776, ketika Amerika memproklamirkan kemerdekaannya dari kolonialisasi Inggris. Amerika yang semula dijajah lantas merdeka secara politik dari Inggris, meski sesungguhnya Amerika dan Inggris sama-sama sekular.
Ketersesatan sejarah Indonesia itu terjadi karena saat menjelang proklamasi (seperti dalam sidang BPUPKI), kelompok sekular dengan tokohnya Soekarno, Hatta, Ahmad Soebarjo, dan M. Yamin telah memenangkan kompetisi politik melawan kelompok Islam dengan tokohnya Abdul Kahar Muzakkir, H. Agus Salim, Abdul Wahid Hasyim, dan Abikoesno Tjokrosoejoso. (Anshari, 1997:42). Jadilah Indonesia sebagai negara sekular.
Karena sudah sekular, dapat dimengerti mengapa berbagai bentuk pemikiran liberal sangat potensial untuk dapat tumbuh subur di Indonesia, baik liberalisme di bidang politik, ekonomi, atau pun agama. Dalam bidang ekonomi, liberalisme ini mewujud dalam bentuk sistem kapitalisme (economic liberalism), yaitu sebuah organisasi ekonomi yang bercirikan adanya kepemilikan pribadi (private ownership), perekonomian pasar (market economy), persaingan (competition), dan motif mencari untung (profit). (Ebenstein & Fogelman, 1994:148). Dalam bidang politik, liberalisme ini nampak dalam sistem demokrasi liberal yang meniscayakan pemisahan agama dari negara sebagai titik tolak pandangannya dan selalu mengagungkan kebebasan individu. (Audi, 2002:47). Dalam bidang agama, liberalisme mewujud dalam modernisme (paham pembaruan), yaitu pandangan bahwa ajaran agama harus ditundukkan di bawah nilai-nilai peradaban Barat. (Said, 1995:101).
Tokoh-Tokoh Liberal Indonesia
Komaruddin Hidayat dalam tulisannya Islam Liberal di Indonesia dan Masa Depannya (Republika, 17-18 Juli 2001) memasukkan Soekarno dan Hatta sebagai tokoh-tokoh Islam Liberal. (Husaini & Hidayat, 2002:34). Benar, Komaruddin Hidayat tidak sedang mengigau. Soekarno dan Hatta memang tokoh liberal di Indonesia karena keduanya ngotot menyerukan sekularisme bahkan sebelum Indonesia merdeka.
Soekarno adalah seorang sekular. Pada tahun 1940 Soekarno pernah menulis artikel Apa Sebab Turki Memisah Agama dari Negara, yang mempropagandakan sekularisme Turki sebagai suatu teladan yang patut dicontoh. (Noer, 1991:302). Beberapa buku telah ditulis khusus untuk membongkar sekularisme Soekarno, seperti buku Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal karya Abdulloh Shodiq (1992) dan buku Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal di Indonesia karya Maslahul Falah (2003).
Hatta juga seorang sekular. Prof. Soepomo pada tanggal 31 Mei 1945 menggambarkan pendirian sekular dari Hatta dalam sidang BPUPKI dengan berkata,"Memang di sini terlihat ada dua paham, ialah : paham dari anggota-anggota ahli agama, yang menganjurkan supaya Indonesia didirikan sebagai negara Islam, dan anjuran lain, sebagai telah dianjurkan oleh Tuan Mohammad Hatta, ialah negara persatuan nasional yang memisahkan urusan negara dan urusan Islam, dengan lain perkataan : bukan negara Islam." (Anshari, 1997:27).
Jadi, Soekarno dan Hatta sebenarnya bukan pahlawan dan bukan teladan yang baik bagi bangsa Indonesia yang mayoritas muslim. Keduanya hanyalah bagian dari kelompok sekular di negeri ini yang hakikatnya tidak melakukan apa-apa, selain melestarikan ideologi penjajah di Indonesia dengan mengikuti model negara sekular yang dijalankan kaum Yahudi dan Nasrani yang kafir.
Seharusnya umat Islam tidak boleh mengikuti jalan hidup kaum Yahudi dan Nasrani (QS Al-Maidah:51), meski kita tak perlu terlampau heran kalau memang terjadi. Karena Rasulullah SAW jauh-jauh hari telah berpesan : "Sungguh kamu akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kamu, sejengkal demi sejengkal sehasta demi sehasta, hingga kalau mereka masuk lubang biawak, kamu akan tetap mengikuti mereka." Para shahabat bertanya,"Apakah mereka Yahudi dan Nasrani?" Jawab Rasulullah SAW,"Lalu siapa lagi?" (HR Bukhari & Muslim). Wallahu a'lam.
DAFTAR PUSTAKA
Adams, Ian, Ideologi Politik Mutakhir (Political Ideology Today), Penerjemah Ali Noerzaman, (Yogyakarta : Penerbit Qalam), 2004
Audi, Robert, Agama dan Nalar Sekuler dalam Masyarakat Liberal, (Yogyakarta : UII Press), 2002
Anshari, Endang Saifuddin, Piagam Jakarta 22 Juni 1945 Sebuah Konsensus Nasional Tentang Dasar Negara Republik Indonesia (1945-1949), (Jakarta : Gema Insani Press), 1997
Al-Qashash, Ahmad, Usus Al-Nahdhah Al-Rasyidah, (Beirut : Darul Ummah), 1995
Budiardjo, Miriam, Dasar-Dasar Ilmu Politik, (Jakarta : PT Gramedia Pustaka Utama), 1992
Ebenstein, Willam & Fogelman, Edwin, Isme-Isme Dewasa Ini (Todays Isms), Penerjemah Alex Jemadu, (Jakarta : Penerbit Erlangga), 1984
Falah, Maslahul, Islam Ala Soekarno Jejak Langkah Pemikiran Islam Liberal Indonesia, (Yogyakarta : Kreasi Wacana), 2003
Husaini, Adian & Hidayat, Nuim, Islam Liberal : Sejarah, Konsepsi, Penyimpangan, dan Jawabannya, (Jakarta : : Gema Insani Press), 2002
Husaini, Adian, Wajah Peradaban Barat dari Hegemoni Kristen ke Dominasi hSekular-Liberal, (Jakarta : Gema Insani Press), 2005
Idris, Ahmad, Sejarah Injil dan Gereja (Tarikh Al-Injil wa Al-Kanisah), Penerjemah H. Salim Basyarahil, (Jakarta : Gema Insani Press), 1991
Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900-1942, (Jakarta : LP3ES), 1991
Said, Busthami Muhammad, Gerakan Pembatuan Agama (Mafhum Tajdid Al-Din), Penerjemah Ibnu Marjan & Ibadurrahman, (Bekasi : PT Wacaralazuardi Amanah), 1995
Shodiq, Abdulloh, Sekularisme Soekarno dan Mustafa Kamal, (Pasuruan : PT Garoeda Buana Indah), 1992
Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, (Jakarta : LP3ES), 1986
Ulwan, Abdullah Nashih, Islam Syariat Abadi (Al-Islam Syar'ah Az-Zaman wa Al-Makan), Penerjemah Jamaludin Saiz, (Jakarta : Gema Insani Press), 1996

Minggu, 14 Oktober 2012

berre' kibena

gimana caranya mengobati kecanduan internet ya?
uangku raib karena sering mampir kewarnet

Mengorek Interelasi Gay dibalik Tembok pesantren
Oleh : moh shiddiq*)
Mengapa kamu mendatangi jenis lelaki di antara manusia dan kamu meninggalkan istri-istri yang dijadikan oleh Tuhan untuk-mu, bahkan kamu adalah orang yang melampaui batas.(QS. Asy-syu’ara : 165-166)
Ada sebuah sejarah lama yang nyaris terkubur, yakni tradisi gay yang sempat menggerogoti jiwa kaum Nabi luth. Menghitung secara tematik memang kaum nabi Luth hidup ribuan abad sebelum masehi, jauh dari hiruk-pikuk modernitas yang super canggih. Namun kendati memasuki  abad 21 tak seutuhnya peninggalan nabi Luth sirna dimuka bumi. Sampai detik ini ada segelintir_bahkan lebih_manusia modern memungut sebuah keganjilan tradisi yang diwarisi umat Nabi Luth. Perjuangan untuk mengangkat harkat martabat kaum gay yang terkucilkan dalam tatanan social, secara praktis melahirkan gerakan layaknya emansipasi wanita tahun 90-an hingga Negara maju melegal-formalkan perkawinan sesama jenis dikawasan eropa.
Hal diatas sebenarnya adalah segelintir bukti bahwa ruh dari akar gay masih tumbuh-berkembang dimuka bumi. Dalam sudut pandang Agama, gay merupakan tindakan amat tercela yang dikutuk. Entah itu perspektif Kristen(perjanjian lama) maupun Islam secara yuridis dalam kitab Al-Qur’an. Kedua kitab ini merekam jejak sejarah yang dilakoni kaum Nabi Luth di Negeri Gomorah dan Sodom, dimana mereka dikecam, dicaci. Bahkan mendapatkan adzab pedih tiada tara.  Jelas Agama memaki mereka karena melakukan hubungan tak wajar yang melanggar hak kesusilaan dan memotong regenerasi lahirnya anak adam.
Penulis sendiri merasakan kebimbangan apakah hasrat mencintai lelaki  disebabkan pembawaan sejak lahir atau buatan sendiri. Dalam pada ini, Prof. dr Rodolf Swither menyatakan bahwa secara psikologis pria yang menyukai sesama jenis sebab ketidak-mampuan mereka dalam menerima perbedaan. Wajar bila kemudian mereka menolak kehadiran perempuan disisinya  yang dianggap berbeda dengan keadaan dirinya.
Namun pembahasan akan lebih menarik jika dikaitkan dengan realitas pesantren yang secara eksplisit adalah lembaga sacral dengan memantapkan pemahaman Agama terhadap santrinya. Mungkin hanya ada beberapa tulisan yang mengupas sisi lain keunikan pesantren yang tertutup rapat hingga saat ini. Sebab itulah penulis merasa tertarik untuk melakukan kajian menarik berkenaan sisi nyleneh dari pesantren itu sendiri.
Hal pertama yang kita ketahui bersama bahwa manusia merupakan makhluq berhasrat, manusia dilahirkan dengan kesempurnaan. Dikatakan demikian karena adanya nafsu ammarah dan muthmainnah yang terkandung didalamnya. Keadaan tarik-menarik ini menimbulkan kebimbangan dalam  setiap apa yang dilakukan. Sisi lain manusia dilahirkan untuk berpasang-pasangan, ini memang fitrah yang tak dapat ditolak apapun pangkat dan jabatan yang sedang diemban. Walau begitu adapula kecenderungan psikologis yang berbeda, yang dalam trend umum dikenal dengan istilah gay atau lesbian.
Diakui ataupun tidak, penulis cukup lama mengenyam pendidikan dipesantren, tak ada salahnya bila mendokumentasikan sedikit pengalaman unik yang sempat terlewati. Adapun kejadian ini adalah istilah yang digunakan untuk menunjukkan prilaku suka sesama jenis. Di pesantren kami istilah tersebut dikenal dengan Muye’.sementara di PP.Al-Amien Prenduan disebut badi’(baca : bahasa arab).   
Selama ini pesantren dikenal sebagai tempat transformasi
*)Santri PP.A lubangsa selatan siswa MA 1 Annuqayah Guluk-Guluk Sumenep Madura

Dunia Arsitektur Dan Tuhan
Oleh : Moh Shiddiq*)

Sejarah lama membukukan bahwa terbangunnya ordo-ordo tua dengan khas yang sangat kental dengan arsitektur kebaratan adalah bukti nyata akan adanya komunitas rahasia yang mengajarkan tentang hal yang berkenaan langsung dengan “misteri”. Jika dikembalikan lagi pada momentum kebangkitan eropa yakni dengan munculnya Amerika Serikat sebagai polisi dunia kenyataannya tidak pernah lepas dengan permainan simbolik yang berpangkalkan akan megahnya bangunan-bangunan tua.
            Dalam novel Dan Brown, The Lost Symbol nyata mengungkapkan demikian. Ordo-ordo yang berdiri ajeg di Amerika berawal dari skenario Organisasi Freemason yang lari dari kejaran Salahuddin Al- Ayyubi pada perang suci antara Islam dan Kristen di Jerussalem, Palestina.
            Dalam sebuah pengantar tulisan Gerard de Nerval dikatakan bahwa ekspresi terbaik adalah bagi mereka yang menjadi pekerja bangunan. Apabila jiwa mengekspresikan kekalutan maka yang kan terjadi adalah pekerjaan buruk. Sebaliknya justru jika jiwa dalam keadaan baik akan memberikan efek terbaik terhadap pencapaian-pencapaian prestisius apalagi yang berkenaan lansung dengan sisi pembangunan gedung.
            Iphho Santoso dalam bukunya, Menguak Keajaiban Otak Kanan menandaskan bahwa otak kanan adalah bertipikal intuitif dan imajinatif. Tentu implikasi logis dari kenyataan yang ada otak kanan mengandalkan kreasi yang mampu menghasilkan karya spektakuler. Lain halnya dengan otak kiri yang cenderung acakan dan meng-kuantifikasi segala kepemilikan kosmik yang bertebaran di alam semesta ini.
            Tak terlalu berlebihan jika kemudian ada pergulatan pemikiran filsafat idealisme yang dicetuskan oleh Hegel bertentang-alot dengan filsafat materialis. Kecenderungan berpikir Hegel lebih menitik-beratkan pada dunia idea yang bertipikal spiritual. Menurutnya, kebebasan manusia berada pada roh absolut. Tentu, hasil akhir dari penarikan pemikiran ini sedikit banyak berpijak pada akar deterministik. Sementara pijakan materialisme lebih pada probabilitas materi. Kehidupan yang hakiki ada di dunia materi.tapi, ketika ada peristiwa ganjil yang tidak dapat dijangkau oleh akal bukan sebab ada penggerak diluar materi. Melainkan hanya saja ketidak-mampuan akal dalam menangkap pesan materi itu.
            Namun bagaimanapun, ketika dunia menginjakkan kaki diabad millennium ketiga kesadaran beragama mulai tumbuh secara perlahan disebabkan kegersangan nilai yang sedang dialami oleh manusia. Benar apa yang telah diwartakan Hegel bahwa manusia selalu ingin bebas. Tapi kebebasan manusia harus ada pada roh absolut. Tidak lebih. Tentu pada tahap selanjutnya betapa pentingnya kehadiran ideologi keberagamaan dalam memanifestasikan nilai-nilai yang seirama dengan inti berkehidupan yang lurus.
            Robert Graves dalam An Illustrated Guide to The Lost Symbol menandaskan bahwa Tuhan pun adalah arsitektur professional. Dikatakan demikian karena Tuhan mampu menghias-ciptakan dunia yang begitu indah selama enam (6) hari. Maka, wewenang  Tuhan sebagai arsitektur dilimpahkan pada entitas kemanusiaan, sesuai dengan Al-Quran sebagai khalifah al ard. Tapi dengan apakah manusia dapat membangun ?
            Perbincangan Malaikat dengan Tuhan sebelum diciptakannya Nabi Adam ada semacam keraguan Malaikat terhadap akuntabilitas manusia yang berperangai sebagai penghancur dan ahli dalam menumpahkan darah kemanusiaan. Kenyataannya memang demikian, manusia seringkali menghancurkan rumah kemanusiaan lainnya terwarisi sebagai karakter utuhnya. Setidaknya, hal ini berkaca pada perjalanan sejarah yang sangat kental akan pertentangan hingga menumpah-ruahkan darah kemanusiaan. Misal, tragedy Holoucaust yang diprakarsai rezim Nazi dan peperangan antar saudara yang terjadi diEropa merupakan bukuti nyata akan kekejaman manusia terhadap kemanusiaan.
            Padahal Tuhan menginginkan manusia agar saling berangkulan satu-sama lain. Apalagi manusia sebagai wakil Tuhan dalam melestarikan semesta dari pertikaian-pertikaian justru manusianya sendiri bukan menjadi pembangun melainkan sebagai penghancur bagi keberlangsungan hidup yang sejahtera. Pada dasarnya manusia dituntut untuk menjadi arsitektur dalam menyaingi kreativitas Tuhan yang tiada berhingga.namun tampaknya amat sangat mustahil bagi manusia menjelma sebagai arsitek jika menjauh dari ikatan tali keberagamaan Tuhan. Ironinya, banyak orang beragama namun tidak menghayati makna keberagamaannya hingga pada gilirannya Agama mapan secara formal di KTP. Semoga agama menjadi pembangun dengan penghayatannya yang baik pula.(*)
      
Selasa 03 juli 2012               

Sabtu, 13 Oktober 2012


Pesantren dan Etika Peradaban
Oleh : Moh Shiddiq
Semua kalangan yang masih mengatas namakan muslim_bahkan santri, mustahil lupa sebuah hadist yang berbunyi innama buisytu liutammima makaarimal akhlaq yang menyatakan bahwa kemunculan Nabi Muhammad di padang Arabia disebabkan keringnya nilai-nilai hidup yang bermuara pada etika. Mengaitkan secara linear dengan sejarah peradaban arab tampaknya memang berkait-kelindan satu sama lain. Realita yang hadir semenjak itu sarat akan budaya Jahiliah yang bertentangan dengan spirit luhur keislaman yang hakiki.
Tak ayal, jika kemudian Nabi Muhammad menyebut bahwa peradaban Arab Jahiliah satu-satunya peradaban paling bodoh. sementara kehadiran beliau ditengah kegersangan spiritual dianggap sebagai trangkisnya dari alam kegelapan menuju alam terang benderang (minadz dzulumaati ilan nuuri) yang berpangkalkan akan cahaya Islam. Pada bagian lain sejak turunnya ayat al yauma akmaltu lakum wa atmamtu alaikum ni’matii waradiitu lakumul islama diina maka sejak saat inilah ada indikasi semakin terkikisnya aktualisasi nilai keislaman.
Wajar, menginjak pada tataran kemajuan Eropa yang mengusung nama Renaisains Muslim seakan latah oleh suguhan menggiurkan dalam berbagai sisi. Termasuk diantaranya mode, pakaian, teknologi dan segala tetek bengek lainnya yang terkait dengan term modern. Namun lebih menarik lagi bila pembahasan dispesifikasikan pada muatan historis akan supremasi Barat dalam berbagai dimensi itu.
Sejak abad 11 Eropa dalam keadaan terkatung-katung. Masa ini, Islam menikmati puncak keemasannya dari masa Dinasti Abbasiyah hingga periode Salahuddin Al Ayyubi. Namun, keadaan berbalik arah tatkala terjadi peperangan sengit pada perang Salib yang melibatkan Islam dan Kristen. Suasana genting itu, membawa petaka bagi Islam dengan terbakarnya khazanah keislaman yang terpajang di perpustakaan Mesir, Iraq (Baghdad) dan Spanyol (Andalusia, Cordoba).praktisnya, terjadi peralihan bahasa dari Arab ke bahasa Latin. Namun begitu, hingga detik ini Eropa masih mengelak dari “plagiasi ilmiayah”  ini.
Dalam tataran ideologis pun, yang berkenaan dengan filsafat yunani Islam juga turut andil dalam menerjemahkan kedalam bahasa latin. Dimana, Ibnu Rusyd dalam sebuah hikayah berguru langsung kepada Aristoteles yang oleh orang Barat tidak diakui secara formal. Bahkan, penemuan kekuatan atom,gravitasi dan segala penemuan ilmiayah terlebih dahulu ditemukan Islam diabad yang lampau. Bedanya, ilmuwan muslim menggenjot kemajuan dibalik kekuatan teks, sedangkan penemuan Albert Einstein dan Sir Isaac Newtoon condong pada kekuatan konteks.
Sejarah Renaisains
Kecenderungan eropa selama ini menekankan pada kebebasan berekspresi dalam berbagai hal.hingga, pada gilirannya, meledak teori humanis-antroposentris yang mengagungkan manusia diatas entitas lain, tak terkecuali dengan Tuhan. Tak heran bila dalam kebangkitan Eropa menginjak-injak kuasa Bible dan gereja yang dianggap sakral. Pada perkembangan selanjutnya, berkat kemajuan berpikir meletuslah spirit kapitalis-individualis yang bertentangan dengan ajaran luhur keberagamaan yang lurus.
            Alhasil, kemajuan yang sebenarnya di promosikan sebagai kebebasan yang bersendikan terhadap superioritas akal yang terbatas. Banyak perilaku yang menjauh dari pranata etis yang baik yang bersumber dari keterbatasan itu sendiri. Dewasa ini, Eropa menggemakan sebuah kebahagiaan dengan pencapaian yang menurutnya baik.
            Tidak dapat mengelak, bila hidup disatukan dalam satu kampung global (­Global Village) transformasi budaya luar meremuk-redamkan nilai local di Negara ketiga. Disatu sisi dengan gencarnya pertukaran budaya semakin menguatkan supremasi Barat sebagai kolonialis-imperialis yang selama berabad-abad lamanya melakukan invasi ke negara muslim. Sebab itulah demi melanggengkan kejayaan Islam, Mohammad Abduh dan Mohammad Iqbal, seorang pembaharu, mengajak ummat Islam memangku tradisi keislamannya yang semakin tertanggalkan secara perlahan.
Membangkitkan Pesantren
            Sebagai lembaga Islam yang tetap survive di Indonesia pesantren memiliki peran strategis dalam menggawangi moralitas bangsa dari keterpurukan. Secara diplomatis, pesantren tidak dituntut untuk mengajarkan fundamentalisme keberagamaan sebab ketertekanan Islam dewasa ini. Tapi, kebutuhan jangka panjang bermuara pada mashlahatul ummah. Tidak pula pesantren dituntut mencetak kader yang gila konteks hingga kelihatan memperkosa teks.
            Dalam pada itu, pesantren harus mampu melahirkan kader yang menyeimbangkan nalar teologis dan nalar saintifik yang cenderung berbenturan. Kendatipun pada prinsipnya sulit terwujud. Namun demikian, bukanlah suatu hal yang mustahil diwujudkan jika ada kekompokan antar stake holder pesantren. Lebih dari itu, pesantren mesti memiliki Plannig sistematis dalam rangka menyongsong perubahan. Semoga kaidah al muhafadhatu ala qadiimish shaleh wal akhdu bil jadiidil ashlah teraplikasikan secara riil.(**) 

Siswa MA 1 Annuqayah, berdomisili di PPA Lubangsa Selatan B/8